Sunday, September 2, 2018

Lincold has had warned us!


Nearly all (wo)men can stand adversity, but if you want to test a (wo)man's character, give him/her power. Abraham Lincoln

I was the secretary of Selection Team for Election Commission last time, five year ago. During that time, I discovered an attempt of cheating by a senior member, actually the chairman, in order to pass one of the candidate. Turned out, that candidate and the chairman were closely related to the governor in office. As we may have been aware, become a member of EC has political advantage, they'll hold key to the election.

So yes, I was considered as a 'person with high integrity'. There were other things I did as well, which made me worth for the brand.

Now, I am one of the Transition Team, an inner ring of the newly elected governor. Someone I believe will bring about change and turn this province to be a better one.

Also, this is the time for selection of Selection Team. I thought it's worth a try, as I really enjoyed the previous experience. A few days back, a good friend told me that I'd rather apply for the Selection Tim. She said, I will have a special mission. To pass someone. Someone close to the new governor. Someone, although not governor's relative nor from the same kampung, but has been working hard for him to win the election. My friend said, the governor knew and agree to give me that special mission.

But, I am a 'person with high integrity'.

Tuesday, August 14, 2018

Beli furniture dan temuan

Beta rasa aneh. Ini bapak Kadis A, pengadaan funiture tanpa mengikuti prosedur. Pokoknya dia beli sa. Sampe di keuangan, dong sonde mau ganti. Lha iya, lah. Sonde ada dokumen pendukung. Lalu pas pemeriksaan, jadi temuan.

Trus ini bapak pindah jadi Kadis B. Trus dalam rangka menutup temuan ini, Dinas B mengalokasikan anggaran perubahan dengan judul "Penyelesaian LHP No ##". Ini temuan di Dinas A, alokasi oleh Dinas B, karena pelaku sudah pindah dari Dinas A ke Dinas B. Kepala e.

Dan, furniture itu terlalu besar untuk masuk ke kantor di Dinas B.

Yang beta heran:
1) Kok, penyelesaian temuan ikut ke mana pelaku berpindah? Bukannya temuan di Dinas A harus disettle oleh Dinas A??

2) Kok bisa ya, ada nomenklatur "Penyelesaian LHP"? Bukankah harusnya ada usaha melengkapi dokumen-dokumen pembelian?

3) Kenapa bukan Pak Kadis yang disuruh mengganti? Kan dia pung kesalahan. Kok jadi dibebankan ke anggaran Dinas? Mentang-mentang...

Monday, February 26, 2018

PLN dan salon kecantikan

Kemaren saya ke salon, potong rambut. Setelah lama sekali tidak nyalon.

Pemilik salon, suami istri, masih muda. Sang suami yang ahli gunting rambut, laki-laki maupun perempuan. Istri mengatasi hal - hal lain, mulai dari cream-bath, spa, cat rambut, dan sebagainya. Mereka juga dibantu lima - enam orang perempuan muda yang juga bergerak lincah dan ramah. 

Peralatan mereka standar juga. Sebagai orang yang tidak ahli tentang salon menyalon, saya tidak bisa bilang apakah peralatan mereka canggih atau tidak. Tapi yang jelas sebagian besar (mungkin hanya minus gunting dan sisir) elektronik. Menggunakan listrik.

Waktu saya datang, ada dua laki - laki duduk bersama sang suami. Nampaknya mereka debitur yang lagi memeriksa perkembangan usaha, aset, dan sebagainya. Salon bagus ini pasti masih kredit.

Yang menjengkelkan, selama saya berproses (kira-kira 2,5 jam), listrik PLN tewas. Salon ini punya generator, tapi dayanya mungkin kecil sehingga tidak stabil kalau mereka harus menggunakan beberapa peralatan listrik sekaligus. Termasuk AC. Jadi kayak lampu disko di dalam kalau hair drier dipake.

Wajah suami istri itu nampak kuatir. Mungkin mereka kuatir alat-alat listrik yang masih kredit rusak akibat daya listrik yang tidak stabil. Berulang kali, sambil menggunting rambut saya, sang suami bergumam: "sudah 3 jam ini listrik mati..". 

Kalau hanya tidak bisa mencari sisir dalam gelap ketika lampu mati, we can live with that. Kalo PR anak tidak selesai dikerjakan karena gelap, we may still live with that. Kalau kulkas atau alat rumah tangga elektronik lain rusak, we will curse you, but still can live with that. Tapi, kalau suami istri pekerja keras dan profesional ini harus terbelit hutang, tak mampu lunasi, usahanya bangkrut, can you live with that, PLN? Shame on you.


Sunday, November 26, 2017

Mengenang Yus Nakmofa - kawan dan saudara terbaik

(perbaikan dari sambutan di pemakaman kawan dan saudara Yus Nakmofa)

Sekitar 20 November 1998, saya pertama kali bertemu Yus (maaf, belum bisa menyebut Yus sebagai almarhum..). Yus datang ke kantor organisasi kami yang masih muda, baru berusia 7 bulan. Hanya kami berdua menjalankan organisasi itu, saya dan Yane. Yus datang menawarkan diri membantu kami. Mengapa Yus datang pada kami, saya masih tidak tahu. Dia langsung diterima, karena memang memiliki pengalaman yang kami butuhkan. Yus jelas lebih berpengalaman bekerja bersama masyarakat dibandingkan saya dan Yane saat itu. Maka Yus mulai membantu kami mulai hari itu juga.

Waktu berlalu. Organisasi berganti nama. Dari Posko Informasi Rawan Pangan (PIRP) menjadi Forum Kesiapan dan Penanganan Bencana (FKPB), kemudian Perkumpulan Masyarakat Penanganan Bencana (PMPB) sampai sekarang. Orang - orangnya pun berganti-ganti, masuk keluar. Ada yang jadi wartawan, akademisi, politisi, dan sebagainya. 

Tapi Yus tetap tinggal. Sampai 19 tahun kemudian. Sampai menghembuskan napas terakhir. Dia bertahan, setia, konsisten.

Konsistensi Yus berbuah manis. PMPB menjadi organisasi yang berkembang sekaligus fokus pada isu yang menjadi kekuatannya. Fokus, sekaligus mampu mengimbangi perkembangan konteks dan tetap relevan dengan kebutuhan jaman.

Yus juga berjasa menyebarkan pengetahuan PRB secara luas. Di kalangan masyarakat desa. LSM. Pemerintah kabupaten dan provinsi. Lembaga agama. Kalau bisa dihitung, beribu bahkan puluhan ribu sudah terpapar pengetahuan PRB karena Yus. Konsisten, selama 19 tahun terakhir.


Konsistensi Yus membuat kita belajar.

Dari Yus kita belajar bahwa membesarkan organisasi tidak perlu dengan bersitegang urat saraf. Tidak perlu penuh suara tinggi, drama. Membuat organisasi dibutuhkan, penting, relevan, tidak harus penuh drama. Bisa dicapai dengan canda riang. Dengan santai dan penuh gelak tawa.

Dari Yus kita belajar bekerja dengan totalitas dalam hal yang kita yakini dan sesuai dengan kemampuan kita, sekaligus tidak menganggap remeh pilihan kerja yang berbeda. Yus memilih untuk bekerja keras dengan akar rumput dan pemerintah daerah. Membantu mereka dan menjadi rekan seperjuangan mereka. Yus meraih banyak sukses dan menjadi sangat berguna. Tapi Yus tidak memandang strategi lain, menulis di koran, membuat kajian, advokasi kebijakan tingkat tinggi atau urusan makro lainnya sebagai kurang penting atau kurang berpengaruh. Yus tetap kagum pada mereka dan ingin belajar dari mereka.

Dari Yus kita belajar bahwa menjadi orang yang diandalkan banyak pihak, mulai dari komunitas akar rumput, LSM lokal dan internasional, pemerintah daerah, bahkan di tingkat nasional, tidak harus menjadikannya orang yang tepuk dada dan gila hormat. Tidak membuat dia "jual mahal" dan "bikin diri inti" kalo orang Kupang bilang. Yus tetap rendah hati, bersahaja dan sederhana. Senyum dan tawa tidak pernah jauh dari wajahnya.

Yus memang pabrik tawa kami.

Saya ingat satu kali, sekitar 16 - 17 tahun yang lalu. Kami harus ke Toineke, desa di Amanuban Selatan. Karena saya tahu ini akan jadi perjalanan panjang, apalagi jalan masih banyak yang rusak, dan membosankan, maka saya bernyanyi sepanjang jalan di boncengan motor tua Yus. Padahal suara saya sudah dikenal fals. Sampai di Camplong, kami berhenti sejenak untuk istirahat, kasi lurus tulang belakang. Yus turun dari motor dan bilang: kaka, ini hari beta rasa beruntung sekali. Saya heran, tidak percaya kalau Yus rasa beruntung dengar saya menyanyi. Jadi saya tanya: kenapa Yus, lu rasa beruntung? Maka Yus jawab dengan sangat menjengkelkan: iya, beruntung beta ini hari pake helem masker, jadi sonde perlu dengar kaka pung suara.

Saat ini Yus sudah mendapatkan keberuntungannya yang abadi, berada bersama Penciptanya. Yus tidak perlu lagi mendengar suara - suara fals kita, atau olok-olokan kita. Dia sudah bahagia, terus bernyanyi bersama nyanyian merdu malaikat.

Tinggal kita. Kawan - kawan PMPB dan para pejuang PRB. Yus meninggalkan warisan yang berharga bagi kita. Dia sudah berbuat banyak. Tapi belum cukup, belum tuntas. Perjalanan kita masih panjang, kita masih relevan dan dibutuhkan.

Kak Ida, Vini dan adik-adik. Kami sudah menjadi bagian dari keluarga Kak Ida dan Yus sejak awal. Kami ingin tetap begitu. Kami ingin tetap menjadi bagian dari perjalanan hidup Kak Ida, Vini dan adik - adik, walau Yus telah pergi. Kami juga ingin menjadi bagian dari masa depan Vini dan adik - adik di saat - saat bahagia mereka, ketika mereka menikmati pelangi yang dijanjikan Tuhan dibalik peristiwa duka ini.

Karena kami percaya bahwa rancangan Tuhan adalah yang terbaik bagi kita semua, tanpa kecuali.

Terima kasih.

Wednesday, October 11, 2017

Bencana dan korupsi

Gempa di Lembata yang terjadi terus menerus beberapa hari memang menimbulkan kepanikan. Bukan gempanya, tapi dampaknya. Selain karena Bangunan runtuh, jalan retak dan longsor. Tapi, padahal, magnitude gempa tidak besar. Hanya dua kali 4,9 dan beberapa kali di kisaran 3 - 4 SR. Harusnya tidak merusak. Tapi kenyataannya, merusak bangunan dan infrastruktur. Nah, jangan salahkan gempa.. salahkan yang bangun itu rumah dan infrastruktur. Titik.

Kekeringan di Sumba Barat Daya dibatalkan. Sebelum proposal sempat "jalan", hujan sudah turun. Artinya apa? Yang buat proposal tidak paham apa itu kekeringan. Kalau tidak, masak proposal kekeringan pada bulan Oktober? Does not make any sense.

Tuesday, October 3, 2017

Narasi para korban

Sekarang ini urusan kekeringan lagi happening. Sudah 14 kabupaten di NTT yang declare darurat kekeringan. Seperti diduga, hal ini biasa saja.. maksudnya sudah selalu terjadi demikian. Ada banyak penyebabnya. Itu nantilah dibahas.

Yang menarik, dalam cerita - cerita tentang bencana dan kekeringan, kemudian ada dua cerita menarik yang patut disimak:

Cerita 1 tentang kasus kekeringan di wilayah TTS bagian selatan tahun lalu (atau 2015?). Ceritanya di satu desa terjadi krisis pangan karena kekeringan. Media blew it up, dan bantuanpun berdatangan. Tentu, mie instan, biskuit, beras, dan sebagainya. Dan bendera. Bahkan kata Om Oky, bantuan satu truck, bendera dua truck. Jadi ajang adu pencitraan :)

Tidak jauh dari desa tersebut, sekitar 15 menitan jalan kaki, ada desa lain yang baru selesai panen raya. Padi dan ubi ungu. Berlimpah. Kalau beras, sudah ada mekanisme pemanfaatan paska panennya. Tapi ubi ungu yang melimpah? Bingung mereka harus jual ke mana. Apakah mereka mau menyumbang ke tetangganya yang lagi "krisis pangan"? I bet so. Tapi mungkin juga ada yang tidak. Mungkin ada yang berpikir: toh tetangga sudah dibantu ber- truk-truk. Mungkin juga tidak ada yang tanya. Mungkin juga mereka tidak berpikir ke arah situ, karena ada truk - truk tadi (mungkin dikira semua truk isi bantuan, tidak ada yang isi bendera).

Lalu bagaimana dengan warga desa korban? Apakah bila dibantu ubi -- bukan beras, mie instan, biskuit, mereka akan terima? Atau bagaimana preferensinya?

Cerita 2 tentang kasus banjir, masih di plain area yang sama. Jadi mereka ini sudah direlokasi bertahun - tahun yang lalu ke lokasi lebih tinggi. Tidak jauh, dan masih di dalam desa sendiri. Tapi bilamana sudah mulai hujan banyak dan daerah sekitar rumah lama mereka mulai tergenang (lagi), maka mereka kembali. Minimal beberapa orang, mendiami rumah lama dalam genangan air. Untuk apa? Iya, menunggu di-blow up media dan datanglah bantuan. Jatah beras, mie instan dan biskuit.

Asik juga menelisik narasi para korban bencana ini nampaknya.

Sunday, August 27, 2017

Kesetaraan gender - a sporadic lesson

Kemaren nonton short movie, dengan kategori inspirative. Ceritanya tentang pasangan yang menikah ulang. Jadi mereka bertahun yang lalu sudah menikah, pasangan hetero, laki - laki dan perempuan. Kemudian salah satu berganti kelamin menjadi perempuan, dan mereka menikah kembali. Kali ini sebagai pasangan lesbian.

Saya bukan ingin menggugat pernikahan sejenis. That's a long debate :) Hanya saja kejadian ini membuat saya berpikir lagi tentang kesetaraan gender. Argumentasi utama dari gerakan ini adalah bahwa yang natural, kodrati, God given, adalah hal - hal yang berupa fisik sexual. Untuk laki - laki: punya penis, jakun, dll. Untuk perempuan: punya sel telur, rahim, vagina, yang menyebabkan dia bisa hamil dan melahirkan. Itu yang kodrati. Di luar itu adalah social construction. Human-made. Bisa berubah dan bisa dipertukarkan.

Dalam kasus diatas, si laki - laki yang kemudian mengubah diri menjadi perempuan itu, saya simpulkan, sebagai bukan seorang yang homoseksual. Kenapa? Karena dia sudah menikah dengan seorang perempuan, dan mengaku bahwa: 'walau jenis kelamin saya berubah, cinta saya tidak'. Atau kemungkinan lain, dia berubah orientasi seksual sejak dia mengubah jenis kelaminnya. Ini agak sulit dicerna. Kemungkin berikut, dia biseksual. Tapi kemudian, apa pointnya dia mengubah jenis kelaminnya karena orientasi seksualnya tidak mensyaratkan jenis kelamin dia sendiri.

Jadi penjelasannya ada pada eksistensinya sebagai pribadi. Begitu, pemikiran awam saya. Dia sendiri sudah merasa sebagai 'perempuan yang terjebak dalam tubuh laki - laki'. Tapi, dengan orientasi seksual yang 'apapun jenis kelaminnya, dia tertarik pada perempuan (dan mungkin juga laki - laki kalau dia biseksual), maka pertanyaan saya: "keperempuanan apa yang terjebak dalam tubuh laki - lakinya?" Ketika dia mengubah tubuhnya menjadi perempuan, artinya dia ingin mengubah kodratnya. Tetapi, bukankah kodrat itu tidak penting, ketika dia tidak bertentangan dengan orientasi seksualnya? Kecuali, kalau bertentangan dengan ke'gender'annya, yakni hal yang merupakan konstruksi sosial. Misalnya, dia merasa lebih "lembut" dan tidak cocok dalam tubuh laki - laki. Padahal, kelembutan diasosiasikan dengan perempuan adalah suatu konstruksi sosial. Sehingga, tidak ada masalah, harusnya, kalau laki - laki juga lembut. Kecuali, kalau dia merasa harusnya dia bisa melahirkan. Maka dia perlu menjadi perempuan. Hal mana yang nampaknya teknologi ganti jenis kelamin belum sampai secanggih itu.

Jangan sampai, ada sifat -sifat yang dicap konstruksi sosial, sebenarnya adalah kodrat?