Monday, August 1, 2011

Kupangku: dari Ketimpangan menuju Kegelapan?????

20 tahun yang lalu, bulan Juli tahun 1991, adalah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Ibukota Jakarta. Sedikit gugup tentu saja. Saya anak Kupang. Lahir dan menjadi remaja di kota kecil yang dulu sangat jarang didengar oleh 'anak-anak kota besar'. Jakarta hanya saya lihat dari TV dan baca di majalah. Tapi saya mendapat kesempatan sekolah di sana, setelah lolos tanpa tes masuk Universitas Indonesia. Jadi saya rasa gugup sedikit.

Saya diantar Mama. Kami naik pesawat baling-baling, yang sampai saat inipun masih sering saya tumpangi ke kota-kota kabupaten dalam propinsi NTT. Transit cukup lama waktu itu di Bandara Ngurah Rai, Bali. Kami agak disibukkan untuk turut membujuk seorang anak kecil yang digendong seorang suster. Mereka ada serombongan suster. Rupanya anak ini sakit dan oleh suster mau dibawa ke Jakarta untuk berobat, atas kemurahan hati seorang dermawan yang bersedia membiayai.

Tapi tangisan anak perempuan berumur sekitar 5 tahun itu bukan karena sakit. Tapi karena lapar. Pasalnya, dikampung sana dia biasa makan jagung. Hanya jagung yang membuatnya kenyang. Nah, transit lama di Denpasar ini pun lewat waktu makan siang. Makanan yang ada di bandara hanya produk beras dan gandum. Nasi dan roti atau mie instan. Maka si anak hanya berhenti berteriak ketika lelahnya mengalahkan laparnya. Dia tertidur dalam lapar, bukan karena tidak terisi tetapi karena tidak puas dengan isinya. Dia menginginkan jagung.

Waktu pesawat mulai mengangkasa diatas pulau Jawa, saya terhenyak. Betapa datarnya! Bayangan tentang pulau Flores dan Sumba langsung terhubung dengan pakaian kusut. Ya, pulau Jawa seperti sudah disetrika mulus dan pulau-pulau di wilayah NTT seperti lupa diseterika. Yang terlintas waktu itu adalah: pantas saja mereka kaya. Lha, pulaunya rata dan mulus begitu. Hijau pula nampak dari atas.

Kami dijemput Om dan Tante menuju rumah mereka di Blok M. Mulailah berbagai keheranan bermain di benak di sepanjang jalan itu. Betapa tidak adil pemandangan yang terlihat. Bagaimana bisa, di pagar rumah-rumah mewah, menempel gubuk terbuat dari kertas kardus! Sehebat-hebatnya imajinasi kami masa kanak-kanak membuat rumah boneka sendiri, tak pernah saya bayangkan kardus bisa menjadi bahan bangunan untuk rumah manusia. Pun, tak pernah saya bayangkan ada rumah semewah pemilik pagar tempat rumah kardus itu menempel.

Pemandangan seperti itu banyak, dan menempel sangat kuat. Efeknya banyak. Dalam kuliah Dasar-Dasar Ilmu Sosial dan Sistem Sosial Indonesia saya mengangkat isu ketimpangan sosial ini sebagai topik makalah maupun bahan diskusi di kelas. Hasilnya, nilai A untuk kedua matakuliah tersebut. Tapi yang paling mendalam adalah tekad saya untuk tidak menetap di Jakarta. Tentu saja ini sudah dibumbui dengan kerumitan transportasi, serangan 'mari belanja' yang sudah tidak rasional, sampai dengan moda pergaulan yang sangat materialistik. Kupangku tidak begitu. Tidak ada yang terlalu kaya, tapi juga tidak ada yang terlalu miskin. Kupangku masih lebih toleran dan bersolider. Maka ketika orang lain seperti tidak ada pilihan hidup lebih baik daripada Jakarta, saya beryakin bahwa di Kupang saya akan bisa hidup lebih baik dan nyaman. Hidup dengan lebih manusiawi. Maka seusai kuliah, saya kembali ke Kupang.

Tapi itu dulu. 20 tahun yang lalu. Tahun 2008 saya ditugaskan membuat review ketahanan pangan di NTT. 90% penduduk mengkonsumsi beras, begitu temuannya. Terutama anak-anak. Salah satu penjelasan yang berbekas adalah: anak-anak tidak bisa mengkonsumsi jagung karena terlalu keras. Kalau bubur beras atau nasi, lebih mudah bagi mereka. Temuan ini menghantam kenangan saya akan anak kecil yang saya temui di bandara Ngurah Rai 17 tahun sebelumnya. Jadi tidak akan ada lagi tangisan di Bali karena tak bisa menemukan jagung disajikan di bandara. Karena semuanya sudah seragam.

Iya, itu dulu, 20 tahun yang lalu. Tahun 2010 kami mensurvey pemenuhan hak dasar dari 500 keluarga migran tak beraset di Kota Kupang. Masalah utama bagi mereka adalah tempat tinggal. Bangunan tempat tinggal yang tidak layak, tanpa ventilasi, pengap, dan masih terancam bisa diusir kapan saja oleh pemilik kos maupun tuan tanah tempat mereka menumpang. Toh, bisa mereka bertahan di tempat tidak layak itu sampai beranak pinak. Perumahan murah yang dibangun untuk mereka masih saja tidak terjangkau. Tapi minggu lalu dalam perjalanan dari rumah ke kantor, saya melihat baliho raksasa mengiklankan akan dibangun perubahan mewah dan lengkap di Kota Kupang. Kemudian saya lihat lagi iklan satu halaman penuh di koran lokal. Saya seperti mengalami dejavu. Saya seperti melihat iklan itu berkata: Inilah pembangunan, anda tak mungkin lari dari ketimpangan! Ya, semuanya seragam, termasuk ketimpangan.

Beberapa menit lalu, saya dikirimi satu artikel dalam Kompas hari ini, 01 Agustus 2011, dengan judul: Kota Tanpa “Masa Depan”. Itulah tag sekarang untuk Jakarta dan sekitarnya. DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jabodetabek, semuanya mengalami defisit daya dukung lingkungan. Artinya, masyarakat menggunakan sumber daya alam lebih besar daripada kemampuan alam untuk menyediakannya. Akibatnya, katanya 'kegelapan' membayangi masa depan wilayah ini. Segala urusan carut marut: pertambahan populasi yang spektakuler, pengurusan sampah, tata ruang, sistem transportasi, sampai pasokan air.

Saya teringat Kupangku. Teringat bangunan-bangunan ruko di sepanjang jalan, tak peduli di sekitar perumahan, pertokoan, di depan pasar tradisional, ataupun di samping sekolah. Teringat kemacetan malam hari di sepotong ruas jalan Kuanino, atau ketika jam anak pulang sekolah di daerah Kampung Baru. Teringat pagar-pagar seng melindungi pembangunan hotel – hotel di sepanjang jalur pantai. Juga, teringat baliho besar yang megah tentang perumahan mewah lengkap dengan lapangan golf yang muncul lagi di koran.

Akankah, 20 tahun lagi, Kupang muncul di koran yang sama, kehilangan arogansi akan perumahan mewah dan hotel mewah, diganti judul memelas: “Kota Tanpa Masa Depan”. Bukankah semua proses ini adalah seragam?

Barangkali sekarang waktunya bicara, “Kupang Masa Depan” yang tidak seseragam itu. Yang tidak menempuh jalur yang sama: dari ketimpangan menuju kegelapan. Tapi, bicara masa depan, harusnya jauh lebih panjang daripada periode jabatan walikota yang hanya 5 tahun. Harusnya jauh lebih tegas daripada janji-janji kampanye. Harusnya dibicarakan seluruh warga kota, bukan hanya tim sukses dan keluarga.

Jadi, siapa yang ingin turut membicarakannya?

Thursday, July 7, 2011

Our Deepest Fear

Our deepest fear is not that we are inadequate.
Our deepest fear is that we are powerful beyond measure.
It is our light, not our darkness that most frightens us.
We ask ourselves, Who am I to be brilliant, gorgeous, talented, fabulous?
Actually, who are you not to be?
You are a child of God.
Your playing small does not serve the world.
There is nothing enlightened about shrinking
so that other people won't feel insecure around you.
We are all meant to shine, as children do.
We were born to make manifest the glory of God that is within us.
It is not just in some of us;
it is in everyone.
And as we let our own light shine,
we unconsciously give other people permission to do the same.
As we are liberated from our own fear,
our presence automatically liberates others.

Marianne Williamson, as written for Nelson Mandela.

Monday, July 4, 2011

Perception

Outside highly technical matters, perception is the most important part of thinking. Perception is how we look at the world. What things we take into account. How we structure the world.

Professor David Perkins at Harvard has shown that almost all the errors of thinking are errors of perception. In real life logical errors are quite rare. Yet we persist in believing that thinking is all a matter of avoiding logical errors.

In the early days of computing there was a simple acronym GIGO. This stood for: Garbage In Garbage Out. This means that even if the computer is working flawlessly then what you got out was rubbish if what you put in was rubbish.

Exactly the same thing applies to logic. If your perception is limited then flawless logic will give you an incorrect answer.

Bad logic makes for bad thinking. Everyone would agree with that. But the opposite is not true at all. Good logic does not make for good thinking. If the perception is poor then good logic will give you a faulty answer. There is even the added danger that good logic will give a false arrogance with which to hold the false answer.

Unlike most books on thinking, this book is not about logic but about perception.

It now seems very likely that perception works as a ‘self-organizing information system’ (see the books The Mechanism of Mind and I Am Right You Are Wrong). Such systems allow the sequence in which information arrives to set up patterns. Our thinking then remains trapped within these patterns. So we need some ways of broadening perception and of changing perception (creativity). These are the kinds of matters which are covered in this book.

-----
Passage taken from: “de Bono’s Thinking Course”, by Edward de Bono, ISBN 0563 37073 4 Copyright © MICA Management Resources 1982, 1985, 1994

Mencari

Masih terus mencari
anomali dari kesepian
ketika malam selalu kering
dan angin yang menikam

Masih terus mencari
sore-sore yang menari
ceritakan masa lalu dan mimpi
dan cita yang tak menepi

Los Palos, 4 Sept 2010

lospalos blue

lospalos
misteri iralalara,
kerindangan iliomar
renungan tasifeto

lospalos
kenangan militansi
mimpi resiliensi
dalam rumitnya waktu.

lospalos
mercusuar terselubung asap
kunci,
dari pagar tak bergerbang

lospalos, november 2010

Tuesday, June 28, 2011

transaksi yang sederhana

beta lagi di kamar
abis ganti baju, semprot parfum, gosok pelembab deng bedak
siap mau pi kerja kantor

takuju beta dengar orang baomong di luar
ada satu pak muda sekitar awal 40an
duduk diatas motor yamaha tua su puruk
satu tangan pegang dia pung helm masker ijo,
satu tangan deng hp di telinga

dia berenti di beta pung muka pagar, sonde jao dari jendela kamar
begini dia bilang:
"kaka nona, itu to'o beta biasa bawa tu
ada datang ni.
[diam...]
"iya, di pohon duri"
[diam..]
"ko dia minta di pohon duri na"
[diam, pendek sa]
"dia minta dua stenga"
[diam, sangat pendek]
"sekarang. jadi kaka nona siap su e"
[diam, juga pendek]
"beta su meluncur ni"

isi kambali hp di saku baju,
pake helm ju start motor ko jalan

transaksi pung sederhana lai

beta ada pikir, itu nona ada bikin apa o
su pasti dia ada siap-siap
ganti baju, semprot parfum, pelembab, bedak, lipstik dan lain-lain lai
dia ada pikir apa o..
'lumayan, dapat uang pulsa' atau 'bae su bisa beli anak pung buku'??
abis itu ayun langkah pi kerja

beta ju ayun langkah pi kerja
beta pung pulsa kantor yang bayar
beta pung anak pung buku su bagus-bagus

sial, beta pung transaksi ju kadang-kadang lebih sederhana lai..

14 Agustus 2009

Potongan Cerita dari Fatumonas

jalan ke fatumonas sudah bagus, aspal hotmix sampai di batas desa dan masuk desapun jalannya sudah masuk akal.

beta punya keperluan cari mantan kepala desanya. katanya dia cukup sukses dan visioner sebagai kepala desa.

sayang sekali dia lagi di kupang. urusannya, mengecek apakah sudah ada keputusan penggantian anggota dpr terpilih di kab kupang, yang ada 7 orang pindah ke sabu.

jadi ketemu istrinya. di sana, sinyal hp parah. muncul sekali, hilang 200 kali. tapi orang-orang pada punya hp, plus segala perjuangan untuk menggunakannya. terjadilah percakapan berikut antara beta dengan istrinya:

beta: mama ada pung bapa pung nomor hp ko?

beliau: bapa pung nomor baru ganti. dia pung dos ada ma ini anak dong main2 ko taro di mana ko. sabar ko beta cari dulu.

beta: makasih, mak.

beliau: atau ibu ada pung pak iban pung nomor?

beta (spontan): ada. eh, iban medah, ko, mama??

beliau: iya!

(iban medah: mantan bupati kab kupang, sekarang ketua dpr ntt). beta agak kagok juga dengan jawaban itu. memang nomernya beta ada, tapi...)

beliau: atau pak esthon sa. pasti ada bapa pung nomer.

beta: (tanganga lai)

(eston funay: mantan kepala bappeda ntt, sekarang wakil )

beta: bapa dari partai mana, mama?

beliau: partai republikan..

beta: sapa dong pung ketua dpc di kab kupang?

beliau : hamengkubwono..

beta: sonde mama, dia tu dong pung calon presiden.

beliau: tidak, ibu. itu su dong pung ketua partai di kupang. hamengkubwono sembilan ko sepuluh ko..

beta: oh, oke..

garuk kepala, sambil pikir.. luar biasa orang ini...

yuk, kembali ke ohaem..

12 November 2009

Saturday, June 25, 2011

Kakak Perempuan dari Anak Laki-Laki Sulung

Di tahun 2003, Marlen berhasil lulus dari SMP Negeri 2 Seba, Sabu. Senang, tentu saja. Perjuangan tiga tahun harus berjalan kaki atau bersepeda 14 kilometer bolak-balik dari rumahnya di Menia, Sabu Tengah, ke Seba, Sabu Barat untuk bersekolah tidak meredakan niatnya untuk melanjutkan ke SMA. Di kampungnya, Menia, yang subur dan berlimpah air, masih belum ada sekolah kecuali SD. Sayang, orangtuanya berpendapat lain.

Ayahnya seorang petani, begitu juga ibunya. Selain sawah lebih dari satu hektar, mereka juga punya lading-ladang jagung dan puluhan ekor kambing. Bila musim tanam tiba, Marlen harus membantu ayahnya mencangkul di sawah. Ini pekerjaan biasa baginya, juga bagi perempuan seumurannya di Menia.

Marlen anak pertama dari 4 bersaudara. Adiknya, dua laki-laki dan yang bungsu perempuan. Perbedaan umur antara Marlen dan adiknya yang nomor dua, Yes namanya, hanya setahun.

Tapi sebagai anak laki-laki sulung, Yes adalah kesayangan orangtuanya. Yes tidak pernah bekerja di sawah. Kalau musim tanam atau panen tiba, Yes akan menghilang dari rumah. Bila pekerjaan mempersiapkan lahan, menyemai dan menanam atau pekerjaan panen sudah selesai, baru Yes pulang. Tapi dari kejauhan saat menampakkan diri, dia sudah memohon ampun pada ayahnya, bahkan mencium kakinya begitu sampai di hadapan sang ayah, supaya tidak dimarahi. Dan selalu berhasil, tahun demi tahun. Bahkan uang dari penjualan hasil panen akan dipakai ayahnya untuk memenuhi keinginan Yes. Entah sekedar membeli pakaian, atau bahkan sepeda motor.

Marlen adalah tumpuan. Selain mencangkul, karena dia tidak mahir menanam padi yang butuh kerapian dan ketelatenan, tugas Marlen adalah mengurus kambing. Memetik daun-daun untuk makan kambing, melepas ternak ini di pagi hari dan mengumpulkan mereka kembali di sore hari untuk diikat di dekat rumah.

Saat Marlen lulus SMP, ibunya sakit. Dengan alasan tidak ada lagi yang bisa membantu di sawah dan urus kambing, Marlen diminta berhenti sekolah dulu. Hanya satu tahun, begitu kata ayahnya. Setelah itu dia boleh bersekolah. Tetapi Marlen tahu, ayahnya tidak serius ingin menyekolahkan dia. “Beta tahu kak, dong hanya mau Yes yang sekolah tinggi. Dong biasa bilang begitu,” cerita Marlen dalam dialek Kupangnya.

Marlen marah besar, tapi orangtuanya tidak menggubris.

Memang hanya sedikit teman-teman perempuan Marlen yang melanjutkan sekolah setelah SMP. Bahkan banyak yang tidak sekolah sampai SMP juga. Sebagian mereka memilih untuk keluar dari Sabu, mencari pekerjaan. Ke Kupang di Timor, ke Maumere di Flores, atau ke Waingapu di Sumba. Bahkan juga ke Jakarta atau Surabaya. Kalau bukan jaga toko, menjadi pembantu rumah tangga. Ada juga yang tetap tinggal, baik sekolah maupun tidak.

Tapi dong tu sonde akan selamat,” kata Malen sambil tertawa lucu. Maksudnya, mereka yang tinggal pasti akan segera dikawinkan. Bahkan ada temannya yang sudah dikawinkan di umur 13 atau 14 tahun, ketika masih duduk di bangku SMP. Marlen ingin menghindari itu.

Wajah Marlen menunjukkan karakternya yang keras. Rahangnya berbentuk persegi agak melebar. Tubuhnya pun persegi dan berisi, dengan telapak tangan kasar, khas pekerja keras. Maka saya tidak heran kala mendengar kalau dia akhirnya berkemas dan pergi dari rumahnya. Hanya berbekal pakaian seadanya, dia naik ferry menuju kota Maumere di Pulau Flores. Usianya 15 tahun waktu itu.

Marlen langsung ke rumah tantenya begitu tiba di Maumere. Tantenya punya usaha kue. Kerja Marlen adalah membuat kue, sepanjang hari. Bukan jenis pekerjaan yang disukai Marlen yang tomboy. Hanya satu minggu, Marlen sakit. Capek, katanya. Lagipula kuenya sering rusak. Maka Marlen mulai berkeliling kota Maumere untuk mencari pekerjaan lain. Dia mendapat kerja di Toko Sumber Mas, toko pakaian.

Di situ sonde sama ke di toko barang lain. Karena pembeli ambil sendiri, jadi ketong hanya tinggal catat dan kasi ke kasir,” cerita Marlen, menjelaskan mengapa dia betah bekerja di Toko Sumber Mas selama empat tahun.

Gajinya 150 ribu rupiah. Pagi jam 7.00, mereka mulai membersihkan toko, rumah dan pekarangan pemilik toko. Jam 8.00 toko dibuka. Jam 13.00, istirahat makan. Sambil istirahat, mereka mencuci dan menyeterika pakaian pemilik toko sekeluarga. Jam 14.00 toko dibuka kembali. Setelah tutup toko, mencuci piring dan membersihkan rumah pemilik toko, mereka bisa pulang. “Sonde talalu capek,” kata Marlen.

Tahun 2007, Marlen memutuskan untuk beristirahat sejenak dari pekerjaannya dan pulang kampung. Hanya satu bulan.

Marlen lihat, kelakuan Yes makin menjadi. Dia tidak lulus SMP, putus di kelas 2. Tidak juga bekerja. Hanya nongkrong di rumah teman, di pinggir jalan dan mabuk-mabukan. Tapi bukannya dihukum, malah orangtuanya mempersiapkan masa depan Yes.

Ayahnya membuatkan rumah beton untuk Yes, juga mulai menabung. Marlen tahu, ayahnya punya rekening di Bank NTT Seba sebesar Rp. 5 juta atas nama Yes waktu itu. Semua sertifikat tanah dan BPKB motor Honda Supra yang baru dibeli juga atas nama Yes.

Marlen pun kembali ke Maumere. Tapi dia tidak lagi bisa bekerja di luar rumah. Om dan tantenya melarang.

Liburan satu bulannya berbuntut panjang. Dia sempat bertemu dengan seorang laki-laki yang menarik hatinya. Rumah mereka berdekatan. Mereka berpacaran, dan Marlen pun hamil. Dia tidak menyadarinya, sampai usia kandungan 2 bulan 10 hari waktu pertama kali periksa di dokter. Beberapa kawan menyarankan aborsi. Marlen menolak. Takut gagal dan malah melahirkan anak cacat.

Marlen hanya bisa menangisi nasibnya. Matanya yang kecil masih berkaca-kaca mengingat masa itu. Dia takut pada orangtua di kampung yang tidak tahu apa-apa. Dia juga sadar, si lelakipun tidak tahu kondisinya. Dia tidak bisa kerja mencari uang sendiri. Dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada dia dan anaknya nanti.

Tanpa sepengetahuan Marlen, tantenya menghubungi Mama Marlen. Ayahnya bingung, tapi tidak marah. Mamanya memutuskan untuk menjemput Marlen untuk pulang ke Sabu. Di usia kandungan 6 bulan, Marlen dan Mamanya naik ferry ke Sabu.

Tidak banyak perbedaan aktivitas Marlen pada saat hamil dan tidak hamil. Dia tetap mencangkul di sawah. Tetap menarik air dari sumur. Bahkan, satu hari sebelum melahirkan, dia masih harus turun ke jurang sedalam 20 meter untuk mengambil seekor kambing yang terlalu jauh bermain.

Cindy akhirnya lahir. Selamat dan normal. Walau teratur memeriksakan kandungan di bidan, ibunya tidak mengizinkan Marlen melahirkan di bidan. Sama saja dengan di rumah, katanya.

Marlen tidak pernah tahu apa itu kontraksi. Malam itu, dia hanya merasa sakit perut. Jadi dia hanya bisa duduk-duduk di luar rumah berharap sakit perutnya mereda. Sampai pagi. Setelah mandi, ternyata sakit perutnya tidak mereda. Dia pun menyusul mamanya di rumah tua dengan berjalan kaki 3 kilometer “Mama bilang, su ada tanda. Jadi mama langsung panggil tanta satu yang biasa bantu orang melahirkan,” kenang Marlen lagi.

Tiga hari setelah melahirkan, Marlen sudah kembali mencangkul. Juga memanjat pohon untuk memetik daun makanan kambing. Tidak ada yang luar biasa bagi Marlen. Hampir 20 tahun usianya waktu itu.

Dua tahun terakhir Marlen tinggal di Kupang bersama kami. Cindy, anaknya yang sekarang berusia tiga tahun, diasuh orangtuanya di Sabu. “Mau karmana lai, kak. Mama dong sonde akan lepas Cindy. Tapi beta ju sonde suka tinggal di Sabu,” jelas Marlen pasrah.

Mungkin Marlen memang memilih pasrah. Perlakuan orangtuanya kepada Yes masih membuat dia jengkel. Tahun lalu, Yes minta uang membeli motor. Bapaknya menjual tanah, dapat 15 juta rupiah. Yes membeli motor Yamaha Jupiter seharga 12 juta. Tak lama, si Jupiter dijual 10 juta dan membeli Honda Supra X bekas dengan harga 7 juta. lalu, Supra X juga sudah dijual. “Sekarang dia ada pake motor bekas satu lai. Dia beli 4 juta”, cerita Marlen, sambil mencibirkan bibirnya.

Laki-laki, ayah biologis Cindy, tidak pernah dijumpainya lagi sampai saat ini. Marlen dulu pernah dengar bahwa lelaki itu tidak mengakui Cindy sebagai anaknya. Bukan hal besar bagi keluarga Marlen. Mereka bahkan tidak pernah minta keluarga lelaki itu bertanggungjawab, seperti umumnya terjadi.

Saya memang pernah mendengar dari Pendeta Ina Bara Pa, bahwa orang Sabu paling toleran terhadap kejadian hamil diluar nikah. Keluarga perempuan akan mengurus anak yang lahir di luar nikah sebagai anak suku. Mereka senang bila bisa mendapat tambahan keturunan yang menggunakan nama marganya.

Tapi sekarang, ada kabar keluarga si lelaki ingin mengambil Cindy dari tangan orangtuanya. “Ha..ha..ha... sonde mungkin. Coba sa kalo berani,” tawa Marlen dengan yakin.

Umurnya 23 tahun sekarang. Marlen memutuskan untuk menikmati saja hidupnya. Dia belum mau memikirkan masa depan. Selama di Kupang, Marlen sudah 4 kali berpacaran. Tiga pacarnya yang pertama dia putuskan, karena mengajaknya menikah.

Catatan

1. Sabu adalah salah satu pulau kecil di NTT yang terletak paling di selatan dan jauh dari pulau-pulau lainnya.

2. Kata-kata dalam dialek Kupang:

beta : saya

dong : dorang, mereka

sonde : tidak

ketong : kita

su : sudah

karmana lai : bagaimana lagi

enthusiasm

"It is not the critic who counts, nor the man who points out how the strong man stumbled, or where the doer of deeds could have djavascript:void(0)one them better. The credit belongs to the man who is actually in the arena, whose face is marred by dust and sweat and blood; who strives valiantly; who errs and comes short again and again; who knows great enthusiasms, great devotions; who spends himself in a worthy cause; who, at the best, knows in the end the triumph of high achievement, and who, at the worst, if he fails, at least fails while daring greatly, so that his place shall never be with those timid souls who know neither victory nor defeat."

Theodore Roosevelt