Sunday, March 18, 2012

Kecerdasan Politik Orang Mabuk di Teng Mete

Ini cerita tadi malam. Ada orang yang meninggal dunia. Seperti tradisi di Kupang, mengikuti kebiasaan orang-orang tua dan Kristen, jenazah disemayamkan paling sedikit 3 malam. Ini baru malam kedua. Banyak orang yang datang melayat sekaligus mete atau begadang semalaman menemani keluarga duka. Memang ada perkembangan juga di Kupang. Kalau dulu mete orang meninggal dilakukan dalam syahdu, lagu - lagu didengungkan oleh para pelayat paling banter diiringi gitar akustik, sekarang ini mesti ada keyboard elektrik. Lalu pelayat yang merasa bersuara layak akan menyumbangkan lagu - lagu penghiburan. Perpindahan dari gitar ke keyboard membuat suasana teng mete (tenda duka) jauh lebih meriah.

Teng mete itu tempat orang ngumpul secara sukarela dan menunjukkan solidaritasnya. Entah sekedar menemani keluarga berduka, atau turut membantu angkat - angkat teh dan kopi, atau ditambah dengan sumbangan material. Semuanya dengan sukarela, dan untuk orang Kupang, dianggap 'sudah seharusnya demikian'.

Teng mete sekarang (atau sejak dulu?) juga dikenal sebagai 'arena judi dan mabuk'. Bola guling atau sekedar kartu remi biasanya selalu hadir, ditemani alkohol lokal sampai yang interlokal.

Rupanya kondisi ini cukup empuk untuk dipolitisasi. Lihat saja di teng duka semalam. Tiga dari enam kandidat walikota Kupang yang baru saja ditetapkan KPU, datang melayat. Masing - masing dengan istri/suaminya. Mereka ini orang 'besar'. Ada yang masih menjabat Walikota, ada yang anggota DPR RI, dan anggota DPD RI. Tapi mereka bukan sekedar datang melayat, melainkan turut duduk bermete. Mereka tahu betul bahwa mete, menunjukkan solidaritas terhadap keluarga yang sedang berduka.

Syahdan seseorang mabuk tadi malam, ketika dua kandidat walikota telah pulang. Dalam mabuknya, dia memuji si A, kandidat yang masih tinggal. Sampai di langit. Banyak sekali aspek pujian, mulai dari pengusaha sukses sampai politisi kawakan. Dengan gaya flamboyan, dia minta si A untuk menyumbangkan sebuah lagu. Yah, dengan ancaman: kalo bapa menolak, ketong sonde pilih! Ancaman tokcer, karena si A lantas menyanyikan sebuah lagu penghiburan.

Membayangkan, kira-kira bagaimana perasaan si A? Berbunga - bunga? Bisa jadi. Dipuji dihadapan para calon pemilih... walaupun oleh orang mabuk. Dan si mabuk, bisa memanfaatkan momen kekandidatan si A untuk menodong demi sebuah lagu penghiburan.

Membayangkan ini terjadi bukan di teng duka, tapi di hadapan calon pemilih yang lebih banyak, atau yang lebih solid. Harusnya seorang kandidat bisa ditodong setempat. Katakanlah, ketika kampanye atau sosialisasi. Warga bisa menodong. Ok, kami akan pilih, kalo anda perbaiki dulu jalan lubang itu. Ya, gunakan saja gaya mabuk. Jadi ada pesekot yang berdasarkan tawaran warga.

Atau warga bikin pengumuman sebelum masa kampanye: "Kami, warga Kelurahan ABC akan memilih kandidat yang membangun sumur bor di lokasi yang sudah kami tentukan, sebelum pemilihan dilakukan". Misalnya.

Dengan begitu, harga suara warga bisa jadi agak mahal. Kan selama ini paling satu suara dihargai Rp 50.000 atau kalau sudah putaran kedua naik dikitlah. Itu karena warga dibayar satu per satu, atau individual. Kalau warga memanfaatkan kedekatan sosialnya dan saling bersolidaritas untuk kepentingan bersama, maka kandidatpun bisa ditodong untuk tidak membayar satu persatu, tetapi membayar kepentingan bersama warga. Bukan rokok untuk hari ini yang bisa dibeli, tetapi sumur atau jalan untuk kepentingan jangka panjang.

Soal apakah nanti warga akan benar - benar memilih, siapa yang tahu. Seperti biasa. Seperti juga janji - janji kampanye para kandidat.

Seperti juga orang mabuk semalam. Setelah si A melantunkan lagu penghiburan, dia bertepuk tangan paling keras dan memuji setinggi langit. Ketika si A meninggalkan teng mete, dia pun, masih dengan microphone di tangannya: dia sangka ketong bodok mangkali. su tau orang son suka dia, masih datang cari muka ju!!

Ya, kadang dari orang mabuk kita bisa banyak belajar :)

Thursday, March 8, 2012

Mesri & Markus: sumber air su (mau) dekat

Masih ingat iklan 'sekarang sumber air su dekat'? Usaha mendekatkan sumber air oleh pemasang iklan itu juga dilakukan di Rote, tepatnya di kampung dimana Mesri bertugas sebagai pendeta. Ada kerjasama dengan satu badan PBB.

Dengan semangat pemberdayaan, masyarakat turut serta mengerjakan proyek tersebut. Mereka membangun bak penampung dan memasang pipa. Bahkan ada yang tidak berkebun satu musim tanam. “Yang penting tahun – tahun depan ketong sonde susah lai pikul air”, begitu hitungannya.

Bukan hanya itu, 3 diantara mereka dilatih untuk maintainance. Kemudian masyarakatpun membentuk Forum Pengelola Air. 3 orang terlatih ditugaskan untuk pemeliharaan dan menagih iuran. Hitungannya gampang, per KK menyetor Rp. 2.000,- sebagai abodemen dan Rp. 2.000,- lagi untuk tiap kubik air yang digunakan. Dengan penataan begitu, merekapun menolak keinginan PDAM untuk mengelola air tersebut. Mengapa harus serahkan ke PDAM, kalau bisa diurus masyarakat sendiri, begitu pikir mereka. Mandiri, mantap.

Apa boleh dikata, sebagian besar masyarakat tidak pernah merasakan nikmatnya sumber air su dekat itu. Dari pipa yang dipasang, hanya satu cabang yang mengalirkan air. Dua lagi tidak. Sudah dua tahun. 3 orang pengelola mulai jengah mendengar omelan. Tugas memeriksa kondisi pipa dan menagih iuran tidak dirasa berat, walau hanya dibayar Rp. 50.000,- per bulan. Tapi, mendengar omelan mereka yang tak merasakan layanan itu yang berat. Masalahnya, pengetahuan yang mereka dapatkan dari pelatihan, tidak mencakup kondisi sekarang. Tidak ada sambungan pipa yang longgar, atau bocor. Mau diomeli seperti apapun, ya mereka tidak tahu harus buat apa. Mau minta tolong PDAM, tak enak hati. Dulu pernah ditolak, pasti sekarang PDAM akan menolak, demikian asumsi yang berkembang. Mau protes, kemana? Logo para pemasang itu hanya tinggal dilihat di TV, dalam iklan layanan masyarakat.

Sebagai pendeta jemaat setempat, Mesri turut kerja keras dalam pemasangan pipa. Dia beruntung, gereja ada di jalur yang dengan air mengalir, artinya rumah pastoral tempat dia tinggalpun aman, sumber air betul – betul dekat. Maka semuanya jadi lancar ketika mereka membangun gerejanya menjadi permanen. Lagi – lagi bergotong royong.

Ketidakpuasan tentang air tak jua surut. Sebagian orang sudah akan merusak pipa yang masih mengalirkan air, kalau tidak 'diancam' oleh Mesri. “Dong bilang abis bangun gereja mau kasi rusak pipa. Tapi beta bilang, kalo kasi rusak itu pipa, berarti siap ko tiap hari angkat air kasi gereja. Jadi dong sonde kasi rusak.”

Mesri adalah salah satu peserta dalam Visioning Summit untuk para perawat pulau dari Rote-Ndao, Sabu-Raijua dan Lembata. Visioning sebagai bagian dari proses penerimaan anggota Lingkar Belajar Komunitas Bervisi yang difasilitasi Pikul. Di sini Mesri bertemu dengan Markus. Mereka bahkan dipasangkan panitia sebagai sahabat. Dalam rangka itulah mereka bertukar cerita dan pengalaman dengan apresiatif.

Bagaimana Mesri tidak senang dan berbinar. Markus, mantan pastor itu adalah ahlinya air. Dia sudah berkeliling 122 negara, membawa keahliannya mengurus air. Sekarang dia kembali ke kampung halaman di Pulau Lomblen dan mengabdikan keahliannya di sana. Tak sedikit karyanya diakui berguna untuk masyarakat. Tak selalu perlu proyek, lebih penuh kepedulian dan solidaritas.

Negosiasi Mesri dan Markus berlangsung cepat dan terang. Awalnya Mesri mengaku sempat ragu, apakah Markus dengan kapasitasnya akan bersedia membantu mereka di pedalaman Rote sana. Ternyata Markus menyanggupi tanpa ragu. Hitung – hitung waktu, masih bisa. Setelah penutupan kegiatan hari Kamis malam, hari Jumat pagi Markus langsung ikut ke Rote pakai Fery cepat. Langsung ke kampung, melakukan pengecekan instalasi pipa. Kalau bisa langsung diselesaikan bersama 3 orang pengurus, akan lebih baik. Kalau tidak, para pengurus akan diberikan latihan langsung di tempat untuk mengatasi hal kendala seperti itu. Hari Sabtu siang bisa pulang ke Kupang, dan Hari Minggu pagi terbang ke Lomblen.

Kenapa Mesri bisa begitu yakin untuk langsung membawa Markus ke Rote? “Dia punya reputasi. Tapi terlepas dari itu, beta lihat ini satu kesempatan yang sonde boleh dilewatkan. Ketong coba dulu. Daripada hanya ngomel tiap hari air sonde ada”, demikian pikiran Mesri, yang selalu merasa sayang kalau ada kesempatan yang dilewatkan.

Mesri juga tidak khawatir persoalan dana. “Kan ada iuran, kalau memang butuh ganti pipa atau soket, ya ketong ambil dari sana,” katanya tak ragu. Kalau soal biaya Fery, biaya makan minum dan tidur Markus selama di Rote, Mesri tidak perlu berkerut kening memikirkan budget code atau nomenklatur. “Beta deng jemaat siap atasi,” katanya, sederhana.

Sekarang, apa yang Markus membuat langsung mengiakan ajakan Mesri ke Rote begitu saja? “Coba bayangkan senyum diwajah orang – orang itu. Setelah sekian lama menanti akhirnya air keluar di rumah – rumah mereka. Bahagia. Bagaimana kita tidak ikut bahagia?” begitu, alasan Markus. Markus bilang, alasannya itu masuk akal. Karena membantu orang lain membuat dia senang. Dan dia ingin menggunakan kemampuannya untuk menyenangkan dirinya.

Markus yakin bisa membantu. Dia sudah sangat amat sering sekali mendengar masalah seperti di kampung Mesri. Dugaannya, rancangan pemasangan tidak dilakukan di lokasi, sehingga elevasi tidak presisi. Tapi selalu ada jalan keluar, hanya selama masyarakat tidak tahu harus mencari tahu kemana.

Begitulah, Mesri dan Markus bersepakat dengan semangat. Tanpa program, tanpa budget, tanpa iklan. Kalau mereka berhasil, maka sumber air akan benar – benar dekat. Kalau gagal kali ini, mereka akan mencoba lagi. Mereka, yang membuka mata untuk banyak peluang, percaya diri, tak ingin tergantung dan senang melihat orang lain bahagia.