Wednesday, April 11, 2012

Komitment menembus segala “sekat”

Oleh Raul Radja Kota (anggota Tim Pelatih Wilayah 2, NTT Facilitator Training Project)

Desa padang Alang kecamatan Alor selatan, terletak di tengah pulau Alor Besar. Sebutan Alor Besar sering dipakai untuk menggambarkan bahwa tempat itu berada jauh dari kota Kalabahi. Dibutuhkan 8-12 jam untuk mencapai desa ini. Untuk mencapai desa padang Alang kita bisa menggunakan jasa ojek ataupun berlayar dengan memutar pulau. Jasa ojek yang digunakan, harus mengunakan “driver” yang benar-benar menguasai tempat tersebut. Hal karna kondisi jalan dan topografi yang sangat curam.“Tapi saya adalah satu-satunya wanita yang bisa menembus Padang Alang dengan motor sendiri”.

Ungkapan kebanggaan disampaikan oleh Siti Fatimah. Dia adalah seorang PKM angkatan 2011 yang ditugaskan di desa Padang Alang.

Cerita ini saya dapatkan ketika melakukan assessment terhadap PKM I di Kabupaten Alor. Saat memulai wawancara, tergambar suasana curiga dan jawaban yang sedikit berhati-hati. Mungkin saya dianggap lagi melakukan penyelidikan program. Setelah menggunakan metode AI maka perlahan, ibu Siti mulai bersemangat bercerita. Ketika saya bertanya tentang apa yang paling membahagiakan dan dibanggakan selama menjadi PKM, dengan sedikit termenung ibu Siti menjawab “saya dicintai oleh mereka”.

Saya mencoba mengejar dengan pertanyaan lebih mendalam. “ Apa bukti bahwa mereka mencintai ibu Siti?. “Saya sudah minta ditukar atau dipindahkan, tapi mereka menolak, mereka tidak mau orang lain”.

Penasaran mengapa ingin pindah atau ditukar, maka saya melanjutkan dengan pertanyaan mengapa ingin pindah? Dengan mata sedikit berkaca-kaca lalu terungkap. “ ini soal kepercayaan saya, ini soal Agama saya”. Ibu berjilbab ini mulai bercerita tentang bagaimana ia menghadapi masyarakat yang seluruhnya adalah Nasrani. Salah satu strategi yang digunakan adalah membuka jilbab jika akan ke desa. “Mereka tidak menolak jika saya pake jilbab, tapi kalo saya tetap pakai, pasti ada jarak”. Ungkap ibu yang sudah memiliki seorang anak ini.

Lanjut ceritanya lagi, “saya juga tidak bisa menetap lama di desa karna disana tidak ada tempat sembayang. Jadi kalau dalam dua minggu itu saya 3-4 hari saja saya di desa, selain itu saya kembali ke Kalabahi, karna keluarga saya juga ada di Kota dan saya punya anak kecil”.

Tantangan terberat adalah ketika harus menentukan jenis usaha kelompok. Dari 12 kelompok yang ada, 11 kelompok diantarannya memilih usaha ternak babi, dan satu kelompok ternak ayam. “Saya bayangkan bagaimana saya harus membibing kelompok ternak babi, disisi lain agama saya melarang saya. Tapi ini soal komitment dan pengabdian, jadi saya jalani saja. Dan akhirnya saya dicintai disana”. Lanjut ibu Siti.

Dari cerita ibu Siti, terungkap bahwa penentuan jenis usaha itu didasarkan pada empat tekad Pemerintah Provinsi yaitu provinsi ternak, cendana, jagung dan koperasi. Hal ini sangat berbeda dengan potensi alam yang dimiliki yaitu perkebunan.

Tantangan lain yang dihadapi, yaitu bagaimana PKM I terjun bebas dalam program ini. “Kami tidak punya bekal apa-apa dalam pendampingan, jadi kami andalkan pengalaman saja. Kebetulan saya pernah ikut organisasi, jadi itu yang bisa membantu saya”.

Sedikit bercuriga ibu Siti mencoba menggambarkan posisi mereka pada awal program. “Kami seperti kelinci percobaan. Kami berjalan saja dengan kreasi dan coba-coba, tapi pasti juga takut salah”. Lanjut ibu Siti, “saya dengar PKM II dibekali dengan pelatihan-pelatihan, seharusnya kami juga seperti itu”.

Cerita ini berakhir setelah terdengar suara sholat dari mesjid, dan ibu Siti pun segera berpamitan.

Wednesday, April 4, 2012

Membantu orang miskin ala 'mereka'

Beberapa hari lalu saya membaca berita di koran – koran. Ada deklarasi ikatan keluarga atau persatuan keluarga atau apalah namanya, yang basisnya suku. Cukup kreatif, karena launchingnya berupa pemecahan rekor MURI. Terlepas dari benar atau tidaknya klaim angka 'pengikut'-nya, tidak terlalu penting bagi saya. Ya, tidak terlalu penting karena semua juga klaim. Siapakah 'semua' yang klaim itu? Yah, semua orang juga tahu acara – acara seperti itu di bulan – bulan seperti ini, pasti ada muatan kampanyenya. Mungkin rekor MURI belum masuk dalam list 'cara kampanye' sehingga membuat saya menilai caranya cukup kreatif. Tapi bahwa ada muatan kampanye menjelang pemilihan walikota, tidak ada yang baru lah.

Juga sama sekali tidak baru adalah basis primodialis yang digunakan. Biasa... sangat biasa. Banyak dari pemilih kritis yang prihatin dan mengkritik pendekatan vote getter seperti itu. Tapi ini masih realita kita, bahkan secara nasional. Mungkin politik massa mengambang berlangsung terlalu lama, dan mungkin juga elit senang mempertahankan ini, karena vote getting menjadi jauh lebih mudah dengan memanfaatkan sentimen-sentimen SARA begini.

Yang menarik buat saya dalam berita itu adalah kepedulian si 'keluarga besar' ini terhadap orang miskin. Diwakili oleh salah satu ibu pejabat nasional yang tersohor, mereka memberikan beasiswa kepada anak – anak miskin, sambil bla bla bla tentang kebaikan hati mereka dalam memperhatikan nasib orang – orang yang tidak mampu. Ada 3 orang anak yang mewakili menerima beasiswa (dengan asumsi, 3 anak itu mewakili orang miskin, tentu saja). Anak pertama sedang kuliah di Undana. Anak kedua sedang bersekolah di SMP Mercusuar dan anak ketiga sedang sekolah di Sekolah Abdi Kasih Bangsa (SAKB). Saya cukup yakin, entah warga Kupang lainnya, bahwa tidak ada orang miskin yang menyekolahkan anak di Mercusuar atau SAKB. Minimal orang tua dua anak yang terakhir itu bukan yang hidup dengan penghasilan dibawah USD 2 per hari, atau dibawah upah minimum. Jadi, entah ada yang error dengan kriteria kemiskinan yang dipakai oleh si 'keluarga besar' ini, atau memang niatnya bukan bantu orang miskin.

Seorang teman menanggapi dengan jelas: “cek saja, pasti mereka anak para pengurus!”

Jadi, para pemilih, hendaklah kalian tahu bahwa kami menyediakan beasiswa sebagai bentuk kepedulian pada orang miskin. Tapi beasiswanya kami berikan untuk diri sendiri! [duit duit gue! masalah buat loe??]