Sunday, November 26, 2017

Mengenang Yus Nakmofa - kawan dan saudara terbaik

(perbaikan dari sambutan di pemakaman kawan dan saudara Yus Nakmofa)

Sekitar 20 November 1998, saya pertama kali bertemu Yus (maaf, belum bisa menyebut Yus sebagai almarhum..). Yus datang ke kantor organisasi kami yang masih muda, baru berusia 7 bulan. Hanya kami berdua menjalankan organisasi itu, saya dan Yane. Yus datang menawarkan diri membantu kami. Mengapa Yus datang pada kami, saya masih tidak tahu. Dia langsung diterima, karena memang memiliki pengalaman yang kami butuhkan. Yus jelas lebih berpengalaman bekerja bersama masyarakat dibandingkan saya dan Yane saat itu. Maka Yus mulai membantu kami mulai hari itu juga.

Waktu berlalu. Organisasi berganti nama. Dari Posko Informasi Rawan Pangan (PIRP) menjadi Forum Kesiapan dan Penanganan Bencana (FKPB), kemudian Perkumpulan Masyarakat Penanganan Bencana (PMPB) sampai sekarang. Orang - orangnya pun berganti-ganti, masuk keluar. Ada yang jadi wartawan, akademisi, politisi, dan sebagainya. 

Tapi Yus tetap tinggal. Sampai 19 tahun kemudian. Sampai menghembuskan napas terakhir. Dia bertahan, setia, konsisten.

Konsistensi Yus berbuah manis. PMPB menjadi organisasi yang berkembang sekaligus fokus pada isu yang menjadi kekuatannya. Fokus, sekaligus mampu mengimbangi perkembangan konteks dan tetap relevan dengan kebutuhan jaman.

Yus juga berjasa menyebarkan pengetahuan PRB secara luas. Di kalangan masyarakat desa. LSM. Pemerintah kabupaten dan provinsi. Lembaga agama. Kalau bisa dihitung, beribu bahkan puluhan ribu sudah terpapar pengetahuan PRB karena Yus. Konsisten, selama 19 tahun terakhir.


Konsistensi Yus membuat kita belajar.

Dari Yus kita belajar bahwa membesarkan organisasi tidak perlu dengan bersitegang urat saraf. Tidak perlu penuh suara tinggi, drama. Membuat organisasi dibutuhkan, penting, relevan, tidak harus penuh drama. Bisa dicapai dengan canda riang. Dengan santai dan penuh gelak tawa.

Dari Yus kita belajar bekerja dengan totalitas dalam hal yang kita yakini dan sesuai dengan kemampuan kita, sekaligus tidak menganggap remeh pilihan kerja yang berbeda. Yus memilih untuk bekerja keras dengan akar rumput dan pemerintah daerah. Membantu mereka dan menjadi rekan seperjuangan mereka. Yus meraih banyak sukses dan menjadi sangat berguna. Tapi Yus tidak memandang strategi lain, menulis di koran, membuat kajian, advokasi kebijakan tingkat tinggi atau urusan makro lainnya sebagai kurang penting atau kurang berpengaruh. Yus tetap kagum pada mereka dan ingin belajar dari mereka.

Dari Yus kita belajar bahwa menjadi orang yang diandalkan banyak pihak, mulai dari komunitas akar rumput, LSM lokal dan internasional, pemerintah daerah, bahkan di tingkat nasional, tidak harus menjadikannya orang yang tepuk dada dan gila hormat. Tidak membuat dia "jual mahal" dan "bikin diri inti" kalo orang Kupang bilang. Yus tetap rendah hati, bersahaja dan sederhana. Senyum dan tawa tidak pernah jauh dari wajahnya.

Yus memang pabrik tawa kami.

Saya ingat satu kali, sekitar 16 - 17 tahun yang lalu. Kami harus ke Toineke, desa di Amanuban Selatan. Karena saya tahu ini akan jadi perjalanan panjang, apalagi jalan masih banyak yang rusak, dan membosankan, maka saya bernyanyi sepanjang jalan di boncengan motor tua Yus. Padahal suara saya sudah dikenal fals. Sampai di Camplong, kami berhenti sejenak untuk istirahat, kasi lurus tulang belakang. Yus turun dari motor dan bilang: kaka, ini hari beta rasa beruntung sekali. Saya heran, tidak percaya kalau Yus rasa beruntung dengar saya menyanyi. Jadi saya tanya: kenapa Yus, lu rasa beruntung? Maka Yus jawab dengan sangat menjengkelkan: iya, beruntung beta ini hari pake helem masker, jadi sonde perlu dengar kaka pung suara.

Saat ini Yus sudah mendapatkan keberuntungannya yang abadi, berada bersama Penciptanya. Yus tidak perlu lagi mendengar suara - suara fals kita, atau olok-olokan kita. Dia sudah bahagia, terus bernyanyi bersama nyanyian merdu malaikat.

Tinggal kita. Kawan - kawan PMPB dan para pejuang PRB. Yus meninggalkan warisan yang berharga bagi kita. Dia sudah berbuat banyak. Tapi belum cukup, belum tuntas. Perjalanan kita masih panjang, kita masih relevan dan dibutuhkan.

Kak Ida, Vini dan adik-adik. Kami sudah menjadi bagian dari keluarga Kak Ida dan Yus sejak awal. Kami ingin tetap begitu. Kami ingin tetap menjadi bagian dari perjalanan hidup Kak Ida, Vini dan adik - adik, walau Yus telah pergi. Kami juga ingin menjadi bagian dari masa depan Vini dan adik - adik di saat - saat bahagia mereka, ketika mereka menikmati pelangi yang dijanjikan Tuhan dibalik peristiwa duka ini.

Karena kami percaya bahwa rancangan Tuhan adalah yang terbaik bagi kita semua, tanpa kecuali.

Terima kasih.

Wednesday, October 11, 2017

Bencana dan korupsi

Gempa di Lembata yang terjadi terus menerus beberapa hari memang menimbulkan kepanikan. Bukan gempanya, tapi dampaknya. Selain karena Bangunan runtuh, jalan retak dan longsor. Tapi, padahal, magnitude gempa tidak besar. Hanya dua kali 4,9 dan beberapa kali di kisaran 3 - 4 SR. Harusnya tidak merusak. Tapi kenyataannya, merusak bangunan dan infrastruktur. Nah, jangan salahkan gempa.. salahkan yang bangun itu rumah dan infrastruktur. Titik.

Kekeringan di Sumba Barat Daya dibatalkan. Sebelum proposal sempat "jalan", hujan sudah turun. Artinya apa? Yang buat proposal tidak paham apa itu kekeringan. Kalau tidak, masak proposal kekeringan pada bulan Oktober? Does not make any sense.

Tuesday, October 3, 2017

Narasi para korban

Sekarang ini urusan kekeringan lagi happening. Sudah 14 kabupaten di NTT yang declare darurat kekeringan. Seperti diduga, hal ini biasa saja.. maksudnya sudah selalu terjadi demikian. Ada banyak penyebabnya. Itu nantilah dibahas.

Yang menarik, dalam cerita - cerita tentang bencana dan kekeringan, kemudian ada dua cerita menarik yang patut disimak:

Cerita 1 tentang kasus kekeringan di wilayah TTS bagian selatan tahun lalu (atau 2015?). Ceritanya di satu desa terjadi krisis pangan karena kekeringan. Media blew it up, dan bantuanpun berdatangan. Tentu, mie instan, biskuit, beras, dan sebagainya. Dan bendera. Bahkan kata Om Oky, bantuan satu truck, bendera dua truck. Jadi ajang adu pencitraan :)

Tidak jauh dari desa tersebut, sekitar 15 menitan jalan kaki, ada desa lain yang baru selesai panen raya. Padi dan ubi ungu. Berlimpah. Kalau beras, sudah ada mekanisme pemanfaatan paska panennya. Tapi ubi ungu yang melimpah? Bingung mereka harus jual ke mana. Apakah mereka mau menyumbang ke tetangganya yang lagi "krisis pangan"? I bet so. Tapi mungkin juga ada yang tidak. Mungkin ada yang berpikir: toh tetangga sudah dibantu ber- truk-truk. Mungkin juga tidak ada yang tanya. Mungkin juga mereka tidak berpikir ke arah situ, karena ada truk - truk tadi (mungkin dikira semua truk isi bantuan, tidak ada yang isi bendera).

Lalu bagaimana dengan warga desa korban? Apakah bila dibantu ubi -- bukan beras, mie instan, biskuit, mereka akan terima? Atau bagaimana preferensinya?

Cerita 2 tentang kasus banjir, masih di plain area yang sama. Jadi mereka ini sudah direlokasi bertahun - tahun yang lalu ke lokasi lebih tinggi. Tidak jauh, dan masih di dalam desa sendiri. Tapi bilamana sudah mulai hujan banyak dan daerah sekitar rumah lama mereka mulai tergenang (lagi), maka mereka kembali. Minimal beberapa orang, mendiami rumah lama dalam genangan air. Untuk apa? Iya, menunggu di-blow up media dan datanglah bantuan. Jatah beras, mie instan dan biskuit.

Asik juga menelisik narasi para korban bencana ini nampaknya.

Sunday, August 27, 2017

Kesetaraan gender - a sporadic lesson

Kemaren nonton short movie, dengan kategori inspirative. Ceritanya tentang pasangan yang menikah ulang. Jadi mereka bertahun yang lalu sudah menikah, pasangan hetero, laki - laki dan perempuan. Kemudian salah satu berganti kelamin menjadi perempuan, dan mereka menikah kembali. Kali ini sebagai pasangan lesbian.

Saya bukan ingin menggugat pernikahan sejenis. That's a long debate :) Hanya saja kejadian ini membuat saya berpikir lagi tentang kesetaraan gender. Argumentasi utama dari gerakan ini adalah bahwa yang natural, kodrati, God given, adalah hal - hal yang berupa fisik sexual. Untuk laki - laki: punya penis, jakun, dll. Untuk perempuan: punya sel telur, rahim, vagina, yang menyebabkan dia bisa hamil dan melahirkan. Itu yang kodrati. Di luar itu adalah social construction. Human-made. Bisa berubah dan bisa dipertukarkan.

Dalam kasus diatas, si laki - laki yang kemudian mengubah diri menjadi perempuan itu, saya simpulkan, sebagai bukan seorang yang homoseksual. Kenapa? Karena dia sudah menikah dengan seorang perempuan, dan mengaku bahwa: 'walau jenis kelamin saya berubah, cinta saya tidak'. Atau kemungkinan lain, dia berubah orientasi seksual sejak dia mengubah jenis kelaminnya. Ini agak sulit dicerna. Kemungkin berikut, dia biseksual. Tapi kemudian, apa pointnya dia mengubah jenis kelaminnya karena orientasi seksualnya tidak mensyaratkan jenis kelamin dia sendiri.

Jadi penjelasannya ada pada eksistensinya sebagai pribadi. Begitu, pemikiran awam saya. Dia sendiri sudah merasa sebagai 'perempuan yang terjebak dalam tubuh laki - laki'. Tapi, dengan orientasi seksual yang 'apapun jenis kelaminnya, dia tertarik pada perempuan (dan mungkin juga laki - laki kalau dia biseksual), maka pertanyaan saya: "keperempuanan apa yang terjebak dalam tubuh laki - lakinya?" Ketika dia mengubah tubuhnya menjadi perempuan, artinya dia ingin mengubah kodratnya. Tetapi, bukankah kodrat itu tidak penting, ketika dia tidak bertentangan dengan orientasi seksualnya? Kecuali, kalau bertentangan dengan ke'gender'annya, yakni hal yang merupakan konstruksi sosial. Misalnya, dia merasa lebih "lembut" dan tidak cocok dalam tubuh laki - laki. Padahal, kelembutan diasosiasikan dengan perempuan adalah suatu konstruksi sosial. Sehingga, tidak ada masalah, harusnya, kalau laki - laki juga lembut. Kecuali, kalau dia merasa harusnya dia bisa melahirkan. Maka dia perlu menjadi perempuan. Hal mana yang nampaknya teknologi ganti jenis kelamin belum sampai secanggih itu.

Jangan sampai, ada sifat -sifat yang dicap konstruksi sosial, sebenarnya adalah kodrat?


Thursday, August 24, 2017

Para lulusan luar negeri dan Iqbal Aji Daryono dan pembangunan

Cukilan dari Iqbal Aji Daryono yang dimuat di Detik.com <https://news.detik.com/kolom/3609706/tentang-para-alumni-luar-negeri-yang-genit-genit-itu> lumayan menarik. Intinya Iqbal bilang bahwa para alumni luar negeri itu orang - orang bermental minder khas kaum terjajah yang kebetulan mengalami langsung kondisi di negeri penjajah. Yang terkagum - kagum dan setelah pulang ke negeri sendiri hanya bisa kritik, banding - banding dan mengeluh. Mereka ini gagal memahami akar socio-kultural-struktural yang membuat negeri penjajah itu lebih rapih, lebih kaya, lebih taat aturan, beretika, dan semua kebaikan lainnya. Mereka juga gagal memahami akar struktural dari permasalahan yang ada di negeri sendiri, dalam hal ini Indonesia. Akar struktural yang bikin Jakarta terlalu padat untuk ditertibkan, orang miskin tidak bisa tidak pakai trotoar untuk parkir motor (eiittss...saya harus parkir di trotoar atau mati!). Yang lebih nahas, mereka ini hanya sampai di level kagum terhadap negeri penjajah saja, tak ada mampu berbuat sesuatu untuk menciptakan perubahan di negeri sendiri.

Hadeuh, betapa mual membayangkan para alumni luar negeri itu. Apalagi yang dapat beasiswa, yang mana mayoritas para mental inlander, yang berapi - api mengumbar mimpi dalam wawancara dan berakhir di kagum - kagum melecehkan.

Tapi menurut saya, inti dari tulisan ini sebenarnya adalah kritik lama. Seperti frasa yang sering saya dengar dulu waktu baru mulai berkecimpung di dunia pembangunan: like put a band aid to cure a cancer. Alias, sederhananya, masalah berurat akar dan rumit mau dibereskan dengan instan. Seringkali dipakai untuk mengkritik pendekatan karitatif (bagi makanan untuk orang miskin) untuk masalah struktural (orangnya miskin karena tanahnya dirampas penguasa). Kebetulan oh kebetulan, Iqbal lagi dikelilingi kelompok mahasiswa dan/atau alumni luar negeri yang hobi membanding-bandingkan.

Pilihan untuk menyentuh masalah di permukaan saja itu sudah biasa. Ada banyak kritik misalnya, terhadap raskin. Bahkan sejak awal dia keluar sebagai Operasi Pasar Khusus. Raskin aka OPK dituding sebagai 'tidak menyelesaikan persoalan struktural dari minimnya akses orang miskin pada makanan'. Atau bahkan menyumbang ke panti asuhan, karena tidak memberdayakan anak - anaknya.

Pun soal membanding-bandingkan. Menurut saya sih soal membanding-bandingkan itu bukan soal besar, pun bukan eksklusif milik alumni luar negeri. Saya sih sudah lama membanding-bandingkan, jauh sebelum saya akhirnya juga menjadi alumni luar negeri. Lho, bagaimana tidak. Nonton film, baca buku, lihat di majalah, apalagi sudah ada youtube dan berbagai medsos. Tanpa jadi alumni luar negeri pun orang bisa dengan fasih membanding-bandingkan. Bahkan menurut saya sih, minimal kalau para alumni yang membanding-bandingkan, itu sudah didasarkan pada pengalaman empirik :)

Nah, kembali ke urusan band aid for cancer thing, pada akhirnya kita tidak bisa tidak menghargai apapun yang bisa dilakukan. Selama, tentu saja, tidak berdampak negatif secara jangka panjang. Walaupun jadinya minimalis, misalnya, asalkan lakukanlah sesuatu. Karena dilema klasik: memperjuangkan perubahan struktural makan waktu panjang (untuk tidak bilang tidak terkira), sementara ada kebutuhan langsung jangka pendek yang mendesak. Jadi begitu, saling menghargai saja atas apapun yang bisa dilakukan. Soal memperjuangkan trotoar tanpa mengurus akar masalah urbanisasi, pun menurut saya sudah sesuatu usaha yang luar biasa. Patut dihargai.





Wednesday, August 23, 2017

Q & A

Kenapa di Australia ketong sonde omong bahasa Australia?

Kenapa tokek pung nama dengan bunyi sama?

Kenapa orang tu ada laki-laki dan perempuan?

Kenapa ketong harus ada ini (prospil)

Kenapa ketong perlu air di mulut?
- maksudnya?
- ludah tu
- oohh.. ludah tu bisa bunuh bakteri di mulut
- iya, tapi dia air kan?
- bukan, dia ludah
- tapi dia terbuat dari air kan?
- iya.


29/08/17
- Di Atambua tu banyak buah ko?
- Iya
- Buah apa sa?
- Ada kersen, pisang, mangga, banyak..
- Kalo buah Atam?
- Sonde ada buah nama Atam. Juga sebenarnya sonde tau apa arti Atambua.
Any help?


Q & A

Matahari tu ada mata ko?
Sonde..
Jadi kenapa namanya ada mata?
oohh..
Kalo malam dia tutup mata ko jadi bulan ko?
ooohh..

Thursday, August 3, 2017

Lost in term

...biasa

Nona: biasa itu artinya apa?
Mama: artinya yang sehari - hari terjadi. Sonde istimewa.
Nona: kalo air, biasa itu artinya air putih. Kalo xxx, biasa itu artinya xxx

Jadi....

....bahasa
Nona: mama, kenapa di Kupang ketong omong bahasa Kupang, tapi di Australia ketong sonde omong bahasa Australia?
Mama: kan ketong omong Bahasa Inggris.
Nona: Iya, tapi kenapa bukan Bahasa Australia?
Mama: Karena dong pake Bahasa Inggris.
Nona: Iyaaa... tapi kenapa bukan Bahasa Australia?

Karena kalo penjelasan mama pung versi berarti akan jadi panjang, please help me. Ada penjelasan sederhana yang bisa bikin ini anak mengerti dan diam? Bu Remy, Mak Vonny, Mak Yana..??


Saturday, July 29, 2017

Sebab akibat

Karena dilarang pegang cecak oleh Bapak, dengan alasan kotor, jadi Nona tanya Mama: kenapa cecak itu sonde mandi sa supaya bersih. Tapi Mama sonde mau jawab. Karena agak hati - hati. Jadi Nona bikin kesimpulan sendiri: mungkin karena dong tahu, percuma sa dong mandi, karena akan tetap kotor? Mama iyakan saja, biar aman.

Tapi Nona sonde puas dengan itu kesimpulan. Jadi beberapa hari kemudian dia pi tanya Kakak Ois:

Nona : Kaka Ois, kenapa cecak tu sonde mandi supaya bersih?
Ois : karena dong sonde ada pung tangan. Jadi sonde bisa pegang gayung.
Nona: jadi dong ada pung apa sa?
Ois: kaki! empat kaki! jadi sonde bisa pegang gayung.
Nona : tapi kan bisa manusia yang kasi mandi. Jadi, manusia yang pegang gayung, siram air, trus kasi pake sabun cecak!
Ois: sonde ada sabun cecak!
Nona: kenapa? kenapa manusia sonde bikin sabun cecak? Makanya ko cecak kotor..ko manusia sonde mau bikin kasi sabun cecak na!

(kesimpulan: cecak kotor karena manusia sonde bikin sabun cecak, baru manusia larang dong pung anak pegang cecak. hah, dasar manusia!)


Thursday, May 18, 2017

ALL ABOUT YOUR DELIVERY

 In my case, there were three:👶

1. Epidural? No, no, no
2. Father in the room? No, yes, yes
3. Induced? No, yes, no
4. Normal/Caesarian? Normal, normal, normal
5. Due Date? 27 May, forgot, forgot 😇😌
6. Birth Date? 20 May (yes, a week earlier), 08 August, 05 June.
7. Morning sickness? No, no (father did!), yes and no (afternoon sickness it was!)
8. Cravings? no, no, no.
9. Kilos gained? 9 kgs, 10 kgs, more than 10 kgs 😔
10. Sex of the baby? girl, girl, girl
11. Place you gave birth? RS Fatmawati, RS Bhayangkara, RS Mamami
12. Hours in labor room? About 3 hrs for all
13. Baby's weight? 3.4 kg, 2.85 kg, 3.4 kg
.14. Baby's Name? Eunike Hosalien Fanggidae, Sintikhe Bethlien Nggili, Amuthya Fanggidae Nggili
15. How old is your baby today? 20 yo, 13 yo, 5 yo.
16. Most memorable event during pregnancy? 1st time eating McD, travelling Maumere - Larantuka - Maumere - northern coast Ende - Maumere at 8 weeks pregnancy (first and the only time to vomit during travelling ever!), travelling Ruteng - Bajawa - Ende at 8 weeks pregnancy.
17. Who is the obgyn? A couple of nurses, a male obgyn, a female obgyn.

Come on mamas! Let's hear your story! Copy and paste. Change my answers to yours 😍😍😍

Friday, April 21, 2017

Kekeringan dan rejim autoritarian: a recipe of disaster!

Baca ulang artikel ini: http://www.upworthy.com/what-is-the-role-of-climate-change-in-the-conflict-in-syria ; yang membahas bagaimana konflik Suriah sekarang ini dibentuk oleh kekeringan panjang -- 5 tahun tanpa hujan -- di Suriah. Hal yang mau ditekankan dalam artikel ini adalah bahwa banyak ahli politik internasional tidak cukup memberi perhatian pada tekanan lingkungan dan bencana terhadap stabilitas politik. Suriah, salah satu negara teraman di Afrika, membuktikan itu dengan konflik yang sekarang rasanya tidak masuk akal dan sudah menjadi lingkaran setan.

Ada faktor yang muncul berulang dalam tulisan ini, tapi tidak menjadi bahan analisis: rejim autoritarian Presiden Assaad. Rejim yang tidak peduli dengan kekeringan demikian panjang dengan dampak demikian luas. Rejim yang tetap korup dan memelihara kroni bahkan dengan harga kematian cepat rakyatnya.

Kasus Suriah adalah pembuktian terkini dan empiris dari argumen Devereaux dalam The New Famines. Bahwa kelaparan bukan karena kekeringan, tapi karena kegagalan respon dari pihak yang bertanggungjawab, baik secara politik yakni pemerintah, atau secara moral, seperti lembaga - lembaga bantuan internasional. Dibawah rejim yang otoriter, tidak banyak yang bisa diharapkan. Valid juga mempertanyakan kemana lembaga - lembaga bantuan seperti UN-WFP, UN-FAO, ACF ketika 85% ternak mati dan lebih dari 1 juta petani Suriah kehilangan lahan pertaniannya antara 2005 - 2011?

Kasus Suriah mengingatkan kasus 1965 di Indonesia. Ketika El Nino kuat menghantam, rakyat kelaparan dan pecah kudeta berdarah 30 September. Juga, ketika 1997, salah satu El Nino terkuat ditambah tumbangnya pemimpin otoriter rejim orde baru Indonesia.

Kemaren, quick count menunjukkan Ahok kalah dalam Pilkada Jakarta. Bukan soal siapa yang kalah, tapi siapa yang menang. Dalam pidato kemenangan, Prabowo berterima kasih pada rombongan fundamentalis agama. Di belakang pemenang, ada barisan kelompok yang kuat saat rejim otoriter berkuasa di Indonesia. Baik para erzast capitalists maupun anak sang pemimpin otoriter.

Kapan el nino lagi?

Wednesday, April 12, 2017

(camem) Kalau diserang, menyerahlah!

Ini masih tentang kerjaan urus pengungsi di Atambua. Waktu itu, setiap hari distribusi bantuan ber-truck-truck. Kami saat itu selalu dikawal bila distribusi. Situasi sedang panas. Pun karena tiap distribusi selalu penuh risiko. Ada kasus truk yang membawa barang dihadang di jalan, ada yang menjadi konflik karena penerima bantuan tidak puas dengan jumlah maupun jenis bantuan yang diterima.

Biasanya yang mengawal kami dari kepolisian setempat atau dari Brimob. Kami sering menganggap mereka "anak bawang". Yang ditugaskan mengawal kami biasanya masih muda - muda. Anak - anak baru. Tapi bukan karena "muda" maka kami tidak menganggap serius kemampuan mereka menjaga kami. Tapi ada beberapa kasus dimana mereka nampak justru yang lebih takut terhadap serangan daripada kami. Juga, nampaknya cara memegang senjatanya belum mantap. Tidak seperti di pelem-pelem, he he he.

Satu hari, insiden benar - benar terjadi. Tim yang membawa bantuan ke Halilulik disandra. Pasalnya, ada pengungsi yang tidak puas dengan jumlah barang yang diterima. Sialnya mereka yang tidak puas itu bersenjata. Dan para pengawal, membuktikan asumsi - asumsi kami sebelumnya. Tidak berdaya. 2 jam lebih tim kami disandra di bawah todongan senjata. Syukurlah bisa lepas tanpa cedera, walau shock.

Kami berevaluasi masalah ini. Salah satu kesimpulan, berhubung pengawal resmi tidak kompeten, kita perlu memperjuangkan pengawalan dari security UNHCR. Saya ditugaskan untuk menyampaikan aspirasi kami sendiri ini ke UNHCR. Terutama, tentu saja, karena saya bisa berbahasa Inggris.

Besoknya, berangkatlah saya dengan gagah berani ke kantor UNHCR. Saya bertemu dengan tim sekuritinya. Walau mereka sangat ramah dan sudah mencatat insiden yang kami alami, mereka mengaku tidak bisa menjadi pengawal kami. Mereka hanya mengawal kegiatan - kegiatan lembaga UN dan lembaga internasional. Di luar itu (maksudnya yang nasional dan lokal) adalah tanggungjawab pemerintah dan perangkat keamanannya. Jadi yang mereka bisa lakukan hanyalah mencatat insiden yang menimpa semua pihak (termasuk kami). Mungkin untuk kebutuhan laporan saja.

Tim sekuriti mereka ramah-ramah. Malamnya, kami diundang makan malam dan ngopi. Ngobrol ngalor ngidul tentang pengalaman kerja mereka di daerah konflik di seluruh dunia. Salah satu dari mereka, orang Ethiopia, cerita bahwa dia ditodong senjata, disuruh berlutut dan say the last prayer. Tapi untunglah dia berhasil selamat. Saya bertanya: bila demikian tingginya bahaya yang kalian hadapi, mengapa bertahan di pekerjaan ini? Jawabannya kompak dan masuk akal: because the carrot is big! Pun, tambah si kawan dari Ethiopia: "selalu ada kans untuk selamat. Yang harus dilakukan bila diserang atau ditangkap adalah, menyerah! Raise your hands, and you will survive!"

Beberapa waktu setelah itu Kantor UNHCR diserang. 3 orang staff tewas dibunuh. Salah satunya si kawan Ethiopia. Saya baca di koran, bahwa dia memang mengangkat tangan dan menyerah waktu diserang. Tapi tak ayal, dibunuh dan dibakar. No man, not here. Rest In Peace!



Monday, April 10, 2017

(camem) Banjir Besikama: humanitarian??

Waktu masih kerja dengan Posko Atambua (mulai TiLes merdeka, urusan pengungsi), salah satu urusannya adalah distribusi beras ke para pengungsi. Diantaranya, beras yang disuplai oleh WFP (World Food Program), Program Pangan Dunia dari PBB.

Pada suatu hari terjadi sedikit kekacauan administrasi. Entah bagaimana detailnya, lupa. Itu sudah hampir 20 tahun yang lalu. Tapi terus si ibu bos WFP di Atambua waktu itu, kalo tidak salah orang Amerika, datang lobby. Dia minta untuk ada sedikit rekayasa laporan supaya jangan ketahuan bahwa kesalahan tersebut dilakukan oleh WFP. Katanya, akan lebih berat dampaknya kalau WFP yang melakukan. Tapi kalau mitra, seperti Posko Atambua, tidak akan terlalu fatal.

Being an idealist at that time, I refused to do that. Saya bilang, WFP harus bertanggungjawab dong, apapun itu dengan dampak seperti apapun. Dia, si bos, menghiba. Katanya, dampak dari perkara ini, bisa - bisa beras untuk WFP dihentikan. Bahkan operasi WFP untuk wilayah ini dihentikan. Cukup fatal juga.

Tapi kami bergeming (tepatnya saya, heh). Dalam pikiran saya waktu itu, WFP punya kepentingan dalam operasi ini. Mungkin kepentingan WFP lebih besar daripada kepentingan pengungsi. Demikian. Sinis. Reputasi WFP akan rusak bila tidak merespon tragedi politik - kemanusiaan Timor Leste waktu itu. Kerusakan reputasi WFP bisa jadi lebih berat bagi WFP daripada kekurangan beras bagi pengungsi. Maksud saya, pengungsi masih punya pilihan lain lah..

Ibu WFP bilang: please, in the name of humanity! Saya menolak. Really? Do you think I am so naive? Believing that you guys are working for humanity alone? Hell with your so-called humanity! We're not manipulating anything! You did it, you live with it! (kalo tidak salah ingat, diskusi berdua waktu itu pake acara pukul-pukul meja).

Somehow, they managed not to be halted. They went on with their operation. Tidak lama setelah itu waktunya laporan dan berdasarkan laporan dan opname, kami, kami harus mengembalikan 14 ton beras pada WFP sebelum bisa mendapatkan lagi dalam periode berikut. Life goes on, but I know that she did not really like me. And I was like: who cares!

Dalam masa tidak terlalu lama, terjadi banjir bandang di Benanain. 200an orang meninggal tersapu banjir. Jembatan besar yang menghubungkan Besikama dan sekitarnya dengan dunia luar terputus. Beberapa desa terkurung, tidak punya akses makanan, air, dsb. Pagi hari itu saya ikut rapat koordinasi di kantor gubernur. Nampak ada perselisihan antara pemerintah dengan UN. Pemerintah merasa harusnya mereka yang melead respon emergency, sementara UN merasa pemerintah tidak punya sistem, kapasitas, fasilitas dan sebagainya untuk merespon bencana di skala ini. Ada benarnya juga. Apalagi, banyak korban adalah pengungsi Timor Leste, yang notabene belum jelas kewarganegaraannya, sehingga masih dibawah 'koordinasi' UN.

Maka nampaknya ada kesepakatan, UN mengurus para pengungsi korban banjir, sementara pemerintah mengurus masyarakat lokal korban banjir.

Kami tidak ikut dalam perdebatan tersebut. Kami, dengan dukungan paroki - paroki, membuat Posko bersama para pemuda. Memang dalam kondisi tersebut, kita bisa lihat kesenjangan antara bantuan yang didapatkan para pengungsi (NB. bantuan dari UN) dengan yang didapat korban warga lokal (NB. diurus pemerintah). One can hardly deny. Makanya, kami memutuskan untuk menampung pengungsi warga lokal. Ada penggalangan dana cepat, lumayan bisa untuk hidup sekitar 2000 korban yang ditampung di Paroki Betun.

Di lapangan, pertikaian pemerintah vs UN tidak berasa, tentu saja. Kami yang tidak ditopang baik oleh pemerintah maupun UN, bisa keliling ke posko-posko LSM (terutama LSM Internasional) yang ditopang UN. Mereka berkelebihan bantuan. Kami dapat sumbangan dari sumbangan, hehehe. Entah sekedar beras, minyak tanah, atau bahkan kompor dan alat masak untuk melengkapi dapur umum darurat kami.

Tapi toh kami kehabisan bahan makanan juga. Saya teringat 14 ton beras WFP yang masih nangkring di gudang kami di Atambua. Siang itu, panas - panas saya naik ojek dari Betun ke Atambua, langsung menuju kantor WFP. Mau minta fleksibilitas agar beras tersebut tidak perlu dikembalikan. Bisa langsung digunakan, dengan alasan there's another huge emergency in the area!

Panas - panas. Yang pernah ke Atambua, tahu artinya panas di Atambua. Masuk kantor WFP yang ber-AC, lumayan bersyukur. Ketemu dengan si ibu pimpinan, langsung agak keder. Tapi hati cukup yakin, ini untuk kemanusiaan.

"Do not talk to me about humanity! When your people's hungry, it's not our responsibility, it's your government's! Go ask them!" Apa daya, pembalasan semata yang diterima.

Lunglai keluar dari kantor WFP, naik ojek kembali ke Betun (1,5 - 2 jam). Panas. Saya dengar Ibu Presiden Megawati abis berkunjung, membawa 4 menteri. Katanya ada berton-ton beras juga. Saya cek ke Posko, apakah mereka kebagian. Tidak. Katanya semua ada di Kantor Camat, tidak tahu kapan akan dibagikan. Lalu malam ini apa yang akan kami masak di dapur umum darurat kami?

Sedikit putus asa, saya ke pinggir sungai, lokasi jembatan runtuh. Ada Pak Gubernur beserta menteri - menteri. Melihat saya (yang memang sengaja mendekat), dia panggil. Dikenalkan dengan para menteri. "Dia ini biasa bantu kami untuk urus korban bencana", katanya. Saya adukan: kami tidak ada beras. Kalau tidak ada beras, malam ini 2000 orang tidak dapat makan. Besok kami ke kantor bapak, minta beras.

(agak tidak masuk akal, maksud saya secara teknis mobilisasi 2000 orang dari Betun ke Kupang akan butuh biaya yang lebih baik dibelikan makanan!).

Tapi ampuh. Sore itu, beras datang. Diantar orang kecamatan, katanya.

Yeah, go to hell with your aid. As long as our government cares 😩😩










Tuesday, March 21, 2017

Walikota Baru Kupang: Independen?

Orang Kupang lagi euphoria. Pilkadal Walikota putaran kedua 3 hari yang lalu dimenangkan oleh Paket SALAM, Jonas Salean - Hermanus Man. Yang membuatnya istimewa adalah, pencalonan SALAM ini tidak didukung oleh partai politik manapun, alias calon independen. Maka banyaklah komentar - komentar bahagia beredar di situs - situs jejaring sosial: rakyat menang atas parpol!

Saya sebenarnya cukup senang dengan kekalahan parpol. Apalagi nampaknya para aktivis parpol itu sudah took it for granted, bahwa di dunia ini tidak ada dan tidak bisa ada sistem demokrasi yang berbeda tanpa parpol. Lebih khusus, advetorial Paket Jerikho misalnya, mengatakan bahwa "Walikota mutlak didukung DPR" yang artinya tanpa dukungan parpol, tidak ada dukungan DPR. Dan tanpa dukungan DPR, Walikota tidak bisa melakukan apa - apa. Bagi saya, argumentasi ini agak melompat. 

Tapi saya bukan mau membahas itu. Kembali ke urusan 'rakyat menang atas parpol' karena yang menang adalah calon independen. Lagi - lagi, parpol memang kalah. Tetapi apakah rakyat menang? Dan lebih awal lagi: apakah sang pemenang benar - benar independen?

Mari didudukan: Paket SALAM sebagai kandidat adalah Kandidat Walikota Kupang dari jalur independen. Artinya jalur tanpa dukungan parpol. Tetapi, sama dengan kritik terhadap demokrasi prosedural kita selama ini, bahwa parpol itu hanya jadi 'pintu masuk' kandidat calon kepala daerah dengan transaksi yang sudah menjadi rahasia umum. Parpol tidak melakukan pendidikan politik terhadap rakyat, tetapi hanya hidup bila ada perebutan kursi kekuasaan.

Bagaimana dengan kandidat dari jalur independen? Bisa jadi sama saja. Sekian ribu KTP rakyat bisa jadi hanya sebagai 'pintu masuk'. Nama - nama dibalik KTP itu bisa jadi hanya alat dalam kancah perebutan kursi kekuasaan. Bila demikian, maka klaim rakyat menang atas parpol adalah klaim yang terlalu prematur.  Apalagi kita punya pengalaman di kepengurusan 5 tahun sebelum ini. Paket Duo Dan yang didukung parpol kecil - kecil, ternyata dalam perjalanannya Daniel Adoe menjadi Ketua Golkar Kota Kupang. Siapa tahu dalam perjalanan nanti, Jonas Salean akan jadi Ketua Golkar atau PDIP atau Demokrat? Siapa tau.

Ini perlu dibuktikan. Buktikan bahwa independensi itu ada ketika sudah menjadi Walikota. Bukan balas dendam terhadap musuh lama dari rejim 5 tahun sebelumnya. Bukan balas jasa terhadap tim sukses yang paling militan sekalipun. Bukan kepentingan kelompok yang mengkaderkan SALAM dalam birokrasi maupun politik. 

Nama - nama di KTP itu bukan hanya pintu masuk, tetapi tanggungjawab. Mereka yang memilih bukan untuk SALAM mendapat kursi kekuasaan, tetapi untuk mengalami perubahan yang lebih baik. Dan seluruh warga Kota Kupang bukan hanya sumber retribusi, tetapi penguasa sesungguhnya yang harus dilayani.

(ditulis 5 tahun lalu, 2012)

been long time

too much to think and write, too little time.

Choices

When you have to choose between two things, consider a thorough cost - benefit analysis. Meaning all aspects: financial, social, intellectual, personal sanity (you'll never know sometime this really influential!). Also, consider the time lapse: current as well as future benefits!Where do you want to be in the future?

And when everything seems to be at the same page, then money is the only thing that matters!

Wednesday, February 15, 2017

Anak PAUD tersinggung



Bapak ada marah - marah dengan Ike, si anak tengah, "lu ni, su mau 12 tahun tapi omong dengan lu sama ke omong deng anak PAUD sa. Musti ulang - ulang. Lu pi bikin sana!" Ju Nona, anak PAUD yang pas ada duduk nonton dengan dia pung kaka, tersinggung. "Ike, anak PAUD tu pintar. Lebe bae lu pi bikin sana!"

Ha ha ha ha..

Wednesday, February 8, 2017

Hoax

Tadi pagi dengar radio tentang kegelisahan insan pers di hari pers ini tentang hoax. Karena demikian bebasnya arus informasi, sudah sulit untuk memastikan apakah informasi itu benar atau tidak. Dengan fasilitas sekarang, informasi tidak benarpun dengan mudah disebarluaskan secara masif. Tidak ada kontrol, tidak ada sanksi untuk pelaku.

Hal ini benar adanya. Sampai-sampai Dewan Pers merasa perlu buat aksi khusus menahan hoax.

Saya pikir, hoax ini adalah berita bohong yang asalnya bisa dari mana saja oleh siapa saja dan tentang apa saja. Bahkan ada hoax yang kadang kita rasa, oh..alangkah baiknya kalau ini benar. Tapi kalau dulu, ada yang tidak disebut hoax, walaupun unsur bohongnya sama. Yakni bohong terstruktur, masif dan sistematis oleh rejim otoriter. Sama - sama bohong, tapi dilakukan oleh satu sumber, dengan satu tujuan dengan gunakan berbagai cara.

Kita, memang akan selalu bergelut dengan kebenaran.

Friday, January 13, 2017

Indikator orangtua yang sukses


Namanya Ann, lengkapnya Anne Lafferty. Hampir dua tahun oma ini menjadi nyonya rumah kami di perantauan, Canberra, Australia. Umurnya, waktu itu, 82 tahun, seorang cancer survivor. Janda beranak 8 yang sudah bertahun-tahun hidup sendiri di rumahnya yang terbilang besar untuk ukuran Australia.

Ann dulu adalah seorang perawat. Suaminya, Kevin, dulu adalah ilmuwan yang mengajar di Australian National University. Sewaktu meninggal, Kevin sementara menjadi Director of John Hopkins Medical Research School. Dia termasuk pionir medical school ANU, seorang ahli mikrobiologi.

Sampai usianya yang ke-82, jangan harap Ann mengalami kemunduran berpikir. Dia sangat cerdas. Daya ingatnya luar biasa. Duduk ngobrol dengan Ann butuh berjam-jam, karena topik bisa melompat dari politik, sejarah, seni, dan skalanya global. Kalau mau ngobrol dengan Ann, minimal baca dulu berita setiap hari dan katamkan dulu buku-buku Jared Diamonds!

Anaknya yang 8 semua sarjana, beberapa mungkin post-grad. Kayaknya semua lulusan ANU. Sebagian besar lulusan School of Art. Tidak ada yang berkembang menjadi artis terkenal dan tinggal di kota besar nan gemerlap. Kebanyakan tinggal di kota-kota kecil atau bahkan desa-desa kecil dan mengelola workshop atau galeri idealisnya. Yang potter, yang painter. Karir paling mengkilap adalah salah satu anak yang menjadi stage designer di Sydney Opera House. Orang belakang layar.
Bersama 6 anak pertama. Ini foto passport waktu itu, karena passport anak-anak harus attached ke passport ibunya, maka fotopun harus bersama.
 Sehingga, Ann kerap bilang: "being real artists, my children do not make much money", sambil tertawa renyah. Kalau Ann cerita tentang "persaingan" diantara anak-anaknya, bukan tentang kemegahan rumah atau kemewahan mobil mereka. Tapi tentang "his brother envy him so much because he designed his own house using such a unique material, as you can see in this picture...". Kemudian berlanjut ke bagaimana anak lainnya berkelana ke pemukiman-pemukiman Aborigins di pedalaman Northern Territory, untuk "learn about their sophisticated knitting skills. what an interesting job she has!"

Maka sayapun bertanya pada suami: menurut bapak, Ann itu sukses ko sonde sebagai orangtua? and this is the answer I got: 🙄🙄🙄

Monday, January 9, 2017

tiga nona pulang malam

Tadi malam ketemu tiga nona. GTO, gonceng tiga orang. Pakaian putih - hitam, dari ujung El Tari menuju Oebufu. Nil helem. Jam 11.30-an malam. Nampak seperti anak magang, entah di apotek, di hotel atau restoran, atau rumah sakit. Mereka yang harus pulang malam karena mencari hidup dan mengejar masa depan.

Pake mobil lengkap dengan seat-belt, saya berpikir: betapa tidak aman moda bertransportasi mereka.

Tapi saya mungkin, kemungkinan besar, salah. Mungkin, itulah cara yang paling aman dan terjangkau bagi mereka. Apa pilihan lainnya? Pake mobil sendiri: tidak punya! Pake motor satu - satu: tidak punya. Jalan kaki: selain mungkin terlalu jauh, juga..ah.. bisa bayangkan tiga cewek muda jalan tengah malam di Kupang? Sebagai mama dari remaja perempuan, saya kira Kupang sudah bukan tempat yang aman untuk remaja perempuan berjalan kaki tengah malam, dengan pakaian sesopan apapun. Naik angkot/bemo: aih, sudah terlalu banyak cerita miris tentang kekerasan seksual di angkot/bemo.

Jadi apa pilihan transportasi mereka? Ya itu tadi, GTO. Tapi minimal, pakailah helem 😟😟😟

Sunday, January 8, 2017

Penistaan Natal Keluarga

Apa yang diharapkan dari suatu perayaan Natal bersama keluarga besar? Ketemu keluarga yang jarang - jarang bertemu. Kenal keluarga yang belum dikenal. Kalau ada orang yang kita kenal sebagai kawan atau kenalan, dan bertemu di Natal keluarga, baik juga kita dapat penjelasan bagaimana kita ini bertalian keluarga. Apalagi kalau keluarga sebesar Fanggidae - Fangidae!

Walaupun bukan benar-benar antusias, tapi kami cukup bersemangat positif ketika berangkat ke Sakalak. Perjalanannya cukup panjang, kami sebenarnya tak menyangka Dusun Sakalak, Desa Tasikona itu demikian jauh. Sampai pantai selatan Timor, tepatnya di ujungnya Kupang Barat. Walau jalan rusak sana sini, tapi sebagai penggemar berkelana ke kampung-kampung, apalagi dengan view pantai selatan yang cantik, kami menikmati perjalanan itu. Apalagi ada Nona, anak pelawak yang jadi hiburan sepanjang jalan.

Acara berlangsung sangat biasa - biasa saja, kecuali khotbahnya yang keren. Acara paduan suara, vokal grup, solo, bakar lilin, sangat biasa saja. Tidak ada ciri keluarga, ataupun ciri Rote. Untung ada
Pak Pendeta Mel Atok sebagai bagian dari keluarga besar Fanggidae, yang menyampaikan khotbah yang khas: menghibur sekaligus mencerahkan. Beliau menekankan pada pentingnya mengingat Natal sebagai peringatan kelahiran Yesus, termasuk natal keluarga besar. Walau penting untuk mengenal to'o, te'o, ti'i dan sebagainya, lebih penting memastikan bahwa lewat Natal kita kenal Yesus. Jangan terbalik tingkat prioritasnya. Apalagi kalau manfaatkan acara Natal untuk dapat nama, jadi pejabat, jadi anggota DPR, dan sebagainya.

Dan kami benar-benar ternistakan. Istigfar oh istigfar. Sinful..sinful. Pak Ketua Persatuan Keluarga dengan semangat 45 memperkenalkan salah satu anggota persatuan keluarga besar yang sedang ingin menjadi bakal calon bupati Kabupaten Kupang. Hadir dengan bakal calon bupati, pasangannya, yang tidak ada hujan angin badai membawa dia jadi bagian dari keluarga besar. Sinful..sinful.Tidak cukup sampai disitu, Pak Ketua pakai acara mengancam: awas, kalau ada keluarga sendiri yang calon, tidak boleh pilih orang lain!

Jadi, walau masih banyak diantara yang hadir tersebut tidak kami kenal padahal anggota keluarga, kami tidak berhasil mengenal mereka. Ada beberapa kami kenal dan belum tahu bagaimana kami terhubung keluarga, tetap misteri bagi kami. Tapi kami pulang dengan tekad: we have more than enough. Cukup sudah penistaan ini.



Thursday, January 5, 2017

PINK!

Makan siang rame-rame kemaren, perpisahan dengan kawan yang resign dari Plan. Salah satu topik diskusi adalah perubahan Plan ke depan. Rencananya akan jadi Yayasan di tahun 2018. Rencananya akan berubah dari "lembaga biru" menjadi "lembaga pink". Ini karena global theme-nya: "100 million reasons" menyasar 100 juta anak perempuan di seluruh dunia untuk bisa maju. Karena akan fokus ke anak perempuan, maka warna lembaga ini akan jadi PINK!

So what? Some friends laughed to know that. And a senior staff warned them: so prepare to be bullied, for the men. Since you'll wear pink instead of blue!

Really..I think. My husband loves to wear pink. This gender based color preference is just another social construction, so why bother so much. But there's another question: if gender biased color preference is not important, why should you change the organization color at the first place?

This social construction is somehow went under our consciousness.
Sindir menyindir ala Nona (4 tahun)

main sepeda di daerah rawan burung magpie yang doyan mencaplok kalau musim semi tiba

Waktu ke rumah Nick di Melbourne. Tiba tengah malam, setelah menempuh perjalanan 15 jam dari Canberra. Soo, mamanya Nick menyiapkan teh panas untuk refreshment. Nona lihat-lihat keliling rumah Soo yang memang berantakan sangat. Komentar pendek, tanpa ekspresi: my house is clean! So tersinggung, dan tanya: you mean my house is not clean? Nona cuek, dengan tetap tanpa ekspresi dia minum teh sambil bilang lagi: my house is clean!

Waktu ke rumah Lerry di Kayu Putih. Tadinya tidak rencana turun dari mobil. Tapi Lerry bujuk dengan sogokan jus mangga: "tanta Lerry ada pung jus mangga enak!". Nona turun dan masuk rumah. Tapi tanta Lerry asik ngobrol dan lupa jus mangga. Nona komentar: "hmmmm... ini jus mangga pung bau pung enak lai...". Langsung tanta Lerry tersadar, dan sejurus kemudian dua kaleng jus mangga pun tersaji!

Waktu abis boker dan mama cebok di rumah Oebufu. Pas keluar, nona bilang: "kalo Kaka Ois tu, abis cebok Nona dia cuci tangan pake sabun!". Eh, rupanya tadi dia tidak melihat mamanya cuci tangan pakai sabun setelah cebok.

Judgemental dan sinis.
Visioning, why not?

Sudah lama belajar tentang visioning, bahasa gaul dari penggunaan Metode Appreciative Inquiry (AI) dalam perencanaan. AI sendiri adalah metode perencanaan dengan pendekatan berbasis aset (Asset Based Approach). Nge-visioning memang asyik. Kita diajak untuk berpikir berbeda, karena yang dibahas adalah kekuatan, bukan masalah..masalah..masalah semata. Satu cara yang secara kultural kita tidak terbiasa, mengapresiasi diri dan sekitar kita.

Dalam visioning atau AI yang biasa dilakukan, kita memang memulai dari kenyataan kritis (yang biasa kita sebut brutal reality). Naik ke identifikasi aset dan kekuatan, merumuskan mimpi/visi, dan kemudian kurvanya menurun ke perencanaan kegiatan dan kemudian perencanaan kerja. Bisa dibilang, selain konten diskusinya yang berbeda, sebenarnya siklus perencanannya sama saja dengan berbagai metode perencanaan lainnya. Eh, bahkan konten diskusi juga tidak beda-beda amat. Yang beda sebenarnya adalah pendekatan, orientasi kita ketika merencanakan sesuatu. Yang beda sebenarnya sesuatu yang tidak nyata, semacam semangat atau spirit begitu. Ibarat makan kangkung, ada yang beda ketika kita makan kangkung karena hanya mampu dapat kangkung, dengan kita makan kangkung karena doyan kangkung.

Affirmative topics adalah bagian yang sering diabaikan dalam proses visioning kita. Sebagian besar dari visioning yang kita lakukan sudah punya tema dan topik. Tetapi sebenarnya bagian ini penting, karena harusnya di sini kita mengidentifikasi topik atau hal-hal yang signifikan berpengaruh pada individu/organisasi yang kita visioningkan. Dalam hal LSM misalnya, harusnya ada topik Pendanaan, Kepemimpinan, Relevansi dengan agenda besar perdonoran, Pengkaderan, dan sebagainya. Topik-topik itulah yang berpengaruh pada eksistensi LSM.

Dari topics, kita harusnya beranjak ke skenario building. Bagaimana kalau tiap topik berubah atau tidak berubah, atau berubah ke arah positif atau negatif. Bagaimana suatu LSM akan jaya atau kolaps? Nah ini perlu dikembangkan lagi untuk konteks LSM.