Friday, January 13, 2017

Indikator orangtua yang sukses


Namanya Ann, lengkapnya Anne Lafferty. Hampir dua tahun oma ini menjadi nyonya rumah kami di perantauan, Canberra, Australia. Umurnya, waktu itu, 82 tahun, seorang cancer survivor. Janda beranak 8 yang sudah bertahun-tahun hidup sendiri di rumahnya yang terbilang besar untuk ukuran Australia.

Ann dulu adalah seorang perawat. Suaminya, Kevin, dulu adalah ilmuwan yang mengajar di Australian National University. Sewaktu meninggal, Kevin sementara menjadi Director of John Hopkins Medical Research School. Dia termasuk pionir medical school ANU, seorang ahli mikrobiologi.

Sampai usianya yang ke-82, jangan harap Ann mengalami kemunduran berpikir. Dia sangat cerdas. Daya ingatnya luar biasa. Duduk ngobrol dengan Ann butuh berjam-jam, karena topik bisa melompat dari politik, sejarah, seni, dan skalanya global. Kalau mau ngobrol dengan Ann, minimal baca dulu berita setiap hari dan katamkan dulu buku-buku Jared Diamonds!

Anaknya yang 8 semua sarjana, beberapa mungkin post-grad. Kayaknya semua lulusan ANU. Sebagian besar lulusan School of Art. Tidak ada yang berkembang menjadi artis terkenal dan tinggal di kota besar nan gemerlap. Kebanyakan tinggal di kota-kota kecil atau bahkan desa-desa kecil dan mengelola workshop atau galeri idealisnya. Yang potter, yang painter. Karir paling mengkilap adalah salah satu anak yang menjadi stage designer di Sydney Opera House. Orang belakang layar.
Bersama 6 anak pertama. Ini foto passport waktu itu, karena passport anak-anak harus attached ke passport ibunya, maka fotopun harus bersama.
 Sehingga, Ann kerap bilang: "being real artists, my children do not make much money", sambil tertawa renyah. Kalau Ann cerita tentang "persaingan" diantara anak-anaknya, bukan tentang kemegahan rumah atau kemewahan mobil mereka. Tapi tentang "his brother envy him so much because he designed his own house using such a unique material, as you can see in this picture...". Kemudian berlanjut ke bagaimana anak lainnya berkelana ke pemukiman-pemukiman Aborigins di pedalaman Northern Territory, untuk "learn about their sophisticated knitting skills. what an interesting job she has!"

Maka sayapun bertanya pada suami: menurut bapak, Ann itu sukses ko sonde sebagai orangtua? and this is the answer I got: 🙄🙄🙄

Monday, January 9, 2017

tiga nona pulang malam

Tadi malam ketemu tiga nona. GTO, gonceng tiga orang. Pakaian putih - hitam, dari ujung El Tari menuju Oebufu. Nil helem. Jam 11.30-an malam. Nampak seperti anak magang, entah di apotek, di hotel atau restoran, atau rumah sakit. Mereka yang harus pulang malam karena mencari hidup dan mengejar masa depan.

Pake mobil lengkap dengan seat-belt, saya berpikir: betapa tidak aman moda bertransportasi mereka.

Tapi saya mungkin, kemungkinan besar, salah. Mungkin, itulah cara yang paling aman dan terjangkau bagi mereka. Apa pilihan lainnya? Pake mobil sendiri: tidak punya! Pake motor satu - satu: tidak punya. Jalan kaki: selain mungkin terlalu jauh, juga..ah.. bisa bayangkan tiga cewek muda jalan tengah malam di Kupang? Sebagai mama dari remaja perempuan, saya kira Kupang sudah bukan tempat yang aman untuk remaja perempuan berjalan kaki tengah malam, dengan pakaian sesopan apapun. Naik angkot/bemo: aih, sudah terlalu banyak cerita miris tentang kekerasan seksual di angkot/bemo.

Jadi apa pilihan transportasi mereka? Ya itu tadi, GTO. Tapi minimal, pakailah helem 😟😟😟

Sunday, January 8, 2017

Penistaan Natal Keluarga

Apa yang diharapkan dari suatu perayaan Natal bersama keluarga besar? Ketemu keluarga yang jarang - jarang bertemu. Kenal keluarga yang belum dikenal. Kalau ada orang yang kita kenal sebagai kawan atau kenalan, dan bertemu di Natal keluarga, baik juga kita dapat penjelasan bagaimana kita ini bertalian keluarga. Apalagi kalau keluarga sebesar Fanggidae - Fangidae!

Walaupun bukan benar-benar antusias, tapi kami cukup bersemangat positif ketika berangkat ke Sakalak. Perjalanannya cukup panjang, kami sebenarnya tak menyangka Dusun Sakalak, Desa Tasikona itu demikian jauh. Sampai pantai selatan Timor, tepatnya di ujungnya Kupang Barat. Walau jalan rusak sana sini, tapi sebagai penggemar berkelana ke kampung-kampung, apalagi dengan view pantai selatan yang cantik, kami menikmati perjalanan itu. Apalagi ada Nona, anak pelawak yang jadi hiburan sepanjang jalan.

Acara berlangsung sangat biasa - biasa saja, kecuali khotbahnya yang keren. Acara paduan suara, vokal grup, solo, bakar lilin, sangat biasa saja. Tidak ada ciri keluarga, ataupun ciri Rote. Untung ada
Pak Pendeta Mel Atok sebagai bagian dari keluarga besar Fanggidae, yang menyampaikan khotbah yang khas: menghibur sekaligus mencerahkan. Beliau menekankan pada pentingnya mengingat Natal sebagai peringatan kelahiran Yesus, termasuk natal keluarga besar. Walau penting untuk mengenal to'o, te'o, ti'i dan sebagainya, lebih penting memastikan bahwa lewat Natal kita kenal Yesus. Jangan terbalik tingkat prioritasnya. Apalagi kalau manfaatkan acara Natal untuk dapat nama, jadi pejabat, jadi anggota DPR, dan sebagainya.

Dan kami benar-benar ternistakan. Istigfar oh istigfar. Sinful..sinful. Pak Ketua Persatuan Keluarga dengan semangat 45 memperkenalkan salah satu anggota persatuan keluarga besar yang sedang ingin menjadi bakal calon bupati Kabupaten Kupang. Hadir dengan bakal calon bupati, pasangannya, yang tidak ada hujan angin badai membawa dia jadi bagian dari keluarga besar. Sinful..sinful.Tidak cukup sampai disitu, Pak Ketua pakai acara mengancam: awas, kalau ada keluarga sendiri yang calon, tidak boleh pilih orang lain!

Jadi, walau masih banyak diantara yang hadir tersebut tidak kami kenal padahal anggota keluarga, kami tidak berhasil mengenal mereka. Ada beberapa kami kenal dan belum tahu bagaimana kami terhubung keluarga, tetap misteri bagi kami. Tapi kami pulang dengan tekad: we have more than enough. Cukup sudah penistaan ini.



Thursday, January 5, 2017

PINK!

Makan siang rame-rame kemaren, perpisahan dengan kawan yang resign dari Plan. Salah satu topik diskusi adalah perubahan Plan ke depan. Rencananya akan jadi Yayasan di tahun 2018. Rencananya akan berubah dari "lembaga biru" menjadi "lembaga pink". Ini karena global theme-nya: "100 million reasons" menyasar 100 juta anak perempuan di seluruh dunia untuk bisa maju. Karena akan fokus ke anak perempuan, maka warna lembaga ini akan jadi PINK!

So what? Some friends laughed to know that. And a senior staff warned them: so prepare to be bullied, for the men. Since you'll wear pink instead of blue!

Really..I think. My husband loves to wear pink. This gender based color preference is just another social construction, so why bother so much. But there's another question: if gender biased color preference is not important, why should you change the organization color at the first place?

This social construction is somehow went under our consciousness.
Sindir menyindir ala Nona (4 tahun)

main sepeda di daerah rawan burung magpie yang doyan mencaplok kalau musim semi tiba

Waktu ke rumah Nick di Melbourne. Tiba tengah malam, setelah menempuh perjalanan 15 jam dari Canberra. Soo, mamanya Nick menyiapkan teh panas untuk refreshment. Nona lihat-lihat keliling rumah Soo yang memang berantakan sangat. Komentar pendek, tanpa ekspresi: my house is clean! So tersinggung, dan tanya: you mean my house is not clean? Nona cuek, dengan tetap tanpa ekspresi dia minum teh sambil bilang lagi: my house is clean!

Waktu ke rumah Lerry di Kayu Putih. Tadinya tidak rencana turun dari mobil. Tapi Lerry bujuk dengan sogokan jus mangga: "tanta Lerry ada pung jus mangga enak!". Nona turun dan masuk rumah. Tapi tanta Lerry asik ngobrol dan lupa jus mangga. Nona komentar: "hmmmm... ini jus mangga pung bau pung enak lai...". Langsung tanta Lerry tersadar, dan sejurus kemudian dua kaleng jus mangga pun tersaji!

Waktu abis boker dan mama cebok di rumah Oebufu. Pas keluar, nona bilang: "kalo Kaka Ois tu, abis cebok Nona dia cuci tangan pake sabun!". Eh, rupanya tadi dia tidak melihat mamanya cuci tangan pakai sabun setelah cebok.

Judgemental dan sinis.
Visioning, why not?

Sudah lama belajar tentang visioning, bahasa gaul dari penggunaan Metode Appreciative Inquiry (AI) dalam perencanaan. AI sendiri adalah metode perencanaan dengan pendekatan berbasis aset (Asset Based Approach). Nge-visioning memang asyik. Kita diajak untuk berpikir berbeda, karena yang dibahas adalah kekuatan, bukan masalah..masalah..masalah semata. Satu cara yang secara kultural kita tidak terbiasa, mengapresiasi diri dan sekitar kita.

Dalam visioning atau AI yang biasa dilakukan, kita memang memulai dari kenyataan kritis (yang biasa kita sebut brutal reality). Naik ke identifikasi aset dan kekuatan, merumuskan mimpi/visi, dan kemudian kurvanya menurun ke perencanaan kegiatan dan kemudian perencanaan kerja. Bisa dibilang, selain konten diskusinya yang berbeda, sebenarnya siklus perencanannya sama saja dengan berbagai metode perencanaan lainnya. Eh, bahkan konten diskusi juga tidak beda-beda amat. Yang beda sebenarnya adalah pendekatan, orientasi kita ketika merencanakan sesuatu. Yang beda sebenarnya sesuatu yang tidak nyata, semacam semangat atau spirit begitu. Ibarat makan kangkung, ada yang beda ketika kita makan kangkung karena hanya mampu dapat kangkung, dengan kita makan kangkung karena doyan kangkung.

Affirmative topics adalah bagian yang sering diabaikan dalam proses visioning kita. Sebagian besar dari visioning yang kita lakukan sudah punya tema dan topik. Tetapi sebenarnya bagian ini penting, karena harusnya di sini kita mengidentifikasi topik atau hal-hal yang signifikan berpengaruh pada individu/organisasi yang kita visioningkan. Dalam hal LSM misalnya, harusnya ada topik Pendanaan, Kepemimpinan, Relevansi dengan agenda besar perdonoran, Pengkaderan, dan sebagainya. Topik-topik itulah yang berpengaruh pada eksistensi LSM.

Dari topics, kita harusnya beranjak ke skenario building. Bagaimana kalau tiap topik berubah atau tidak berubah, atau berubah ke arah positif atau negatif. Bagaimana suatu LSM akan jaya atau kolaps? Nah ini perlu dikembangkan lagi untuk konteks LSM.