Monday, August 1, 2011

Kupangku: dari Ketimpangan menuju Kegelapan?????

20 tahun yang lalu, bulan Juli tahun 1991, adalah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Ibukota Jakarta. Sedikit gugup tentu saja. Saya anak Kupang. Lahir dan menjadi remaja di kota kecil yang dulu sangat jarang didengar oleh 'anak-anak kota besar'. Jakarta hanya saya lihat dari TV dan baca di majalah. Tapi saya mendapat kesempatan sekolah di sana, setelah lolos tanpa tes masuk Universitas Indonesia. Jadi saya rasa gugup sedikit.

Saya diantar Mama. Kami naik pesawat baling-baling, yang sampai saat inipun masih sering saya tumpangi ke kota-kota kabupaten dalam propinsi NTT. Transit cukup lama waktu itu di Bandara Ngurah Rai, Bali. Kami agak disibukkan untuk turut membujuk seorang anak kecil yang digendong seorang suster. Mereka ada serombongan suster. Rupanya anak ini sakit dan oleh suster mau dibawa ke Jakarta untuk berobat, atas kemurahan hati seorang dermawan yang bersedia membiayai.

Tapi tangisan anak perempuan berumur sekitar 5 tahun itu bukan karena sakit. Tapi karena lapar. Pasalnya, dikampung sana dia biasa makan jagung. Hanya jagung yang membuatnya kenyang. Nah, transit lama di Denpasar ini pun lewat waktu makan siang. Makanan yang ada di bandara hanya produk beras dan gandum. Nasi dan roti atau mie instan. Maka si anak hanya berhenti berteriak ketika lelahnya mengalahkan laparnya. Dia tertidur dalam lapar, bukan karena tidak terisi tetapi karena tidak puas dengan isinya. Dia menginginkan jagung.

Waktu pesawat mulai mengangkasa diatas pulau Jawa, saya terhenyak. Betapa datarnya! Bayangan tentang pulau Flores dan Sumba langsung terhubung dengan pakaian kusut. Ya, pulau Jawa seperti sudah disetrika mulus dan pulau-pulau di wilayah NTT seperti lupa diseterika. Yang terlintas waktu itu adalah: pantas saja mereka kaya. Lha, pulaunya rata dan mulus begitu. Hijau pula nampak dari atas.

Kami dijemput Om dan Tante menuju rumah mereka di Blok M. Mulailah berbagai keheranan bermain di benak di sepanjang jalan itu. Betapa tidak adil pemandangan yang terlihat. Bagaimana bisa, di pagar rumah-rumah mewah, menempel gubuk terbuat dari kertas kardus! Sehebat-hebatnya imajinasi kami masa kanak-kanak membuat rumah boneka sendiri, tak pernah saya bayangkan kardus bisa menjadi bahan bangunan untuk rumah manusia. Pun, tak pernah saya bayangkan ada rumah semewah pemilik pagar tempat rumah kardus itu menempel.

Pemandangan seperti itu banyak, dan menempel sangat kuat. Efeknya banyak. Dalam kuliah Dasar-Dasar Ilmu Sosial dan Sistem Sosial Indonesia saya mengangkat isu ketimpangan sosial ini sebagai topik makalah maupun bahan diskusi di kelas. Hasilnya, nilai A untuk kedua matakuliah tersebut. Tapi yang paling mendalam adalah tekad saya untuk tidak menetap di Jakarta. Tentu saja ini sudah dibumbui dengan kerumitan transportasi, serangan 'mari belanja' yang sudah tidak rasional, sampai dengan moda pergaulan yang sangat materialistik. Kupangku tidak begitu. Tidak ada yang terlalu kaya, tapi juga tidak ada yang terlalu miskin. Kupangku masih lebih toleran dan bersolider. Maka ketika orang lain seperti tidak ada pilihan hidup lebih baik daripada Jakarta, saya beryakin bahwa di Kupang saya akan bisa hidup lebih baik dan nyaman. Hidup dengan lebih manusiawi. Maka seusai kuliah, saya kembali ke Kupang.

Tapi itu dulu. 20 tahun yang lalu. Tahun 2008 saya ditugaskan membuat review ketahanan pangan di NTT. 90% penduduk mengkonsumsi beras, begitu temuannya. Terutama anak-anak. Salah satu penjelasan yang berbekas adalah: anak-anak tidak bisa mengkonsumsi jagung karena terlalu keras. Kalau bubur beras atau nasi, lebih mudah bagi mereka. Temuan ini menghantam kenangan saya akan anak kecil yang saya temui di bandara Ngurah Rai 17 tahun sebelumnya. Jadi tidak akan ada lagi tangisan di Bali karena tak bisa menemukan jagung disajikan di bandara. Karena semuanya sudah seragam.

Iya, itu dulu, 20 tahun yang lalu. Tahun 2010 kami mensurvey pemenuhan hak dasar dari 500 keluarga migran tak beraset di Kota Kupang. Masalah utama bagi mereka adalah tempat tinggal. Bangunan tempat tinggal yang tidak layak, tanpa ventilasi, pengap, dan masih terancam bisa diusir kapan saja oleh pemilik kos maupun tuan tanah tempat mereka menumpang. Toh, bisa mereka bertahan di tempat tidak layak itu sampai beranak pinak. Perumahan murah yang dibangun untuk mereka masih saja tidak terjangkau. Tapi minggu lalu dalam perjalanan dari rumah ke kantor, saya melihat baliho raksasa mengiklankan akan dibangun perubahan mewah dan lengkap di Kota Kupang. Kemudian saya lihat lagi iklan satu halaman penuh di koran lokal. Saya seperti mengalami dejavu. Saya seperti melihat iklan itu berkata: Inilah pembangunan, anda tak mungkin lari dari ketimpangan! Ya, semuanya seragam, termasuk ketimpangan.

Beberapa menit lalu, saya dikirimi satu artikel dalam Kompas hari ini, 01 Agustus 2011, dengan judul: Kota Tanpa “Masa Depan”. Itulah tag sekarang untuk Jakarta dan sekitarnya. DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jabodetabek, semuanya mengalami defisit daya dukung lingkungan. Artinya, masyarakat menggunakan sumber daya alam lebih besar daripada kemampuan alam untuk menyediakannya. Akibatnya, katanya 'kegelapan' membayangi masa depan wilayah ini. Segala urusan carut marut: pertambahan populasi yang spektakuler, pengurusan sampah, tata ruang, sistem transportasi, sampai pasokan air.

Saya teringat Kupangku. Teringat bangunan-bangunan ruko di sepanjang jalan, tak peduli di sekitar perumahan, pertokoan, di depan pasar tradisional, ataupun di samping sekolah. Teringat kemacetan malam hari di sepotong ruas jalan Kuanino, atau ketika jam anak pulang sekolah di daerah Kampung Baru. Teringat pagar-pagar seng melindungi pembangunan hotel – hotel di sepanjang jalur pantai. Juga, teringat baliho besar yang megah tentang perumahan mewah lengkap dengan lapangan golf yang muncul lagi di koran.

Akankah, 20 tahun lagi, Kupang muncul di koran yang sama, kehilangan arogansi akan perumahan mewah dan hotel mewah, diganti judul memelas: “Kota Tanpa Masa Depan”. Bukankah semua proses ini adalah seragam?

Barangkali sekarang waktunya bicara, “Kupang Masa Depan” yang tidak seseragam itu. Yang tidak menempuh jalur yang sama: dari ketimpangan menuju kegelapan. Tapi, bicara masa depan, harusnya jauh lebih panjang daripada periode jabatan walikota yang hanya 5 tahun. Harusnya jauh lebih tegas daripada janji-janji kampanye. Harusnya dibicarakan seluruh warga kota, bukan hanya tim sukses dan keluarga.

Jadi, siapa yang ingin turut membicarakannya?