Wednesday, April 11, 2012

Komitment menembus segala “sekat”

Oleh Raul Radja Kota (anggota Tim Pelatih Wilayah 2, NTT Facilitator Training Project)

Desa padang Alang kecamatan Alor selatan, terletak di tengah pulau Alor Besar. Sebutan Alor Besar sering dipakai untuk menggambarkan bahwa tempat itu berada jauh dari kota Kalabahi. Dibutuhkan 8-12 jam untuk mencapai desa ini. Untuk mencapai desa padang Alang kita bisa menggunakan jasa ojek ataupun berlayar dengan memutar pulau. Jasa ojek yang digunakan, harus mengunakan “driver” yang benar-benar menguasai tempat tersebut. Hal karna kondisi jalan dan topografi yang sangat curam.“Tapi saya adalah satu-satunya wanita yang bisa menembus Padang Alang dengan motor sendiri”.

Ungkapan kebanggaan disampaikan oleh Siti Fatimah. Dia adalah seorang PKM angkatan 2011 yang ditugaskan di desa Padang Alang.

Cerita ini saya dapatkan ketika melakukan assessment terhadap PKM I di Kabupaten Alor. Saat memulai wawancara, tergambar suasana curiga dan jawaban yang sedikit berhati-hati. Mungkin saya dianggap lagi melakukan penyelidikan program. Setelah menggunakan metode AI maka perlahan, ibu Siti mulai bersemangat bercerita. Ketika saya bertanya tentang apa yang paling membahagiakan dan dibanggakan selama menjadi PKM, dengan sedikit termenung ibu Siti menjawab “saya dicintai oleh mereka”.

Saya mencoba mengejar dengan pertanyaan lebih mendalam. “ Apa bukti bahwa mereka mencintai ibu Siti?. “Saya sudah minta ditukar atau dipindahkan, tapi mereka menolak, mereka tidak mau orang lain”.

Penasaran mengapa ingin pindah atau ditukar, maka saya melanjutkan dengan pertanyaan mengapa ingin pindah? Dengan mata sedikit berkaca-kaca lalu terungkap. “ ini soal kepercayaan saya, ini soal Agama saya”. Ibu berjilbab ini mulai bercerita tentang bagaimana ia menghadapi masyarakat yang seluruhnya adalah Nasrani. Salah satu strategi yang digunakan adalah membuka jilbab jika akan ke desa. “Mereka tidak menolak jika saya pake jilbab, tapi kalo saya tetap pakai, pasti ada jarak”. Ungkap ibu yang sudah memiliki seorang anak ini.

Lanjut ceritanya lagi, “saya juga tidak bisa menetap lama di desa karna disana tidak ada tempat sembayang. Jadi kalau dalam dua minggu itu saya 3-4 hari saja saya di desa, selain itu saya kembali ke Kalabahi, karna keluarga saya juga ada di Kota dan saya punya anak kecil”.

Tantangan terberat adalah ketika harus menentukan jenis usaha kelompok. Dari 12 kelompok yang ada, 11 kelompok diantarannya memilih usaha ternak babi, dan satu kelompok ternak ayam. “Saya bayangkan bagaimana saya harus membibing kelompok ternak babi, disisi lain agama saya melarang saya. Tapi ini soal komitment dan pengabdian, jadi saya jalani saja. Dan akhirnya saya dicintai disana”. Lanjut ibu Siti.

Dari cerita ibu Siti, terungkap bahwa penentuan jenis usaha itu didasarkan pada empat tekad Pemerintah Provinsi yaitu provinsi ternak, cendana, jagung dan koperasi. Hal ini sangat berbeda dengan potensi alam yang dimiliki yaitu perkebunan.

Tantangan lain yang dihadapi, yaitu bagaimana PKM I terjun bebas dalam program ini. “Kami tidak punya bekal apa-apa dalam pendampingan, jadi kami andalkan pengalaman saja. Kebetulan saya pernah ikut organisasi, jadi itu yang bisa membantu saya”.

Sedikit bercuriga ibu Siti mencoba menggambarkan posisi mereka pada awal program. “Kami seperti kelinci percobaan. Kami berjalan saja dengan kreasi dan coba-coba, tapi pasti juga takut salah”. Lanjut ibu Siti, “saya dengar PKM II dibekali dengan pelatihan-pelatihan, seharusnya kami juga seperti itu”.

Cerita ini berakhir setelah terdengar suara sholat dari mesjid, dan ibu Siti pun segera berpamitan.

Wednesday, April 4, 2012

Membantu orang miskin ala 'mereka'

Beberapa hari lalu saya membaca berita di koran – koran. Ada deklarasi ikatan keluarga atau persatuan keluarga atau apalah namanya, yang basisnya suku. Cukup kreatif, karena launchingnya berupa pemecahan rekor MURI. Terlepas dari benar atau tidaknya klaim angka 'pengikut'-nya, tidak terlalu penting bagi saya. Ya, tidak terlalu penting karena semua juga klaim. Siapakah 'semua' yang klaim itu? Yah, semua orang juga tahu acara – acara seperti itu di bulan – bulan seperti ini, pasti ada muatan kampanyenya. Mungkin rekor MURI belum masuk dalam list 'cara kampanye' sehingga membuat saya menilai caranya cukup kreatif. Tapi bahwa ada muatan kampanye menjelang pemilihan walikota, tidak ada yang baru lah.

Juga sama sekali tidak baru adalah basis primodialis yang digunakan. Biasa... sangat biasa. Banyak dari pemilih kritis yang prihatin dan mengkritik pendekatan vote getter seperti itu. Tapi ini masih realita kita, bahkan secara nasional. Mungkin politik massa mengambang berlangsung terlalu lama, dan mungkin juga elit senang mempertahankan ini, karena vote getting menjadi jauh lebih mudah dengan memanfaatkan sentimen-sentimen SARA begini.

Yang menarik buat saya dalam berita itu adalah kepedulian si 'keluarga besar' ini terhadap orang miskin. Diwakili oleh salah satu ibu pejabat nasional yang tersohor, mereka memberikan beasiswa kepada anak – anak miskin, sambil bla bla bla tentang kebaikan hati mereka dalam memperhatikan nasib orang – orang yang tidak mampu. Ada 3 orang anak yang mewakili menerima beasiswa (dengan asumsi, 3 anak itu mewakili orang miskin, tentu saja). Anak pertama sedang kuliah di Undana. Anak kedua sedang bersekolah di SMP Mercusuar dan anak ketiga sedang sekolah di Sekolah Abdi Kasih Bangsa (SAKB). Saya cukup yakin, entah warga Kupang lainnya, bahwa tidak ada orang miskin yang menyekolahkan anak di Mercusuar atau SAKB. Minimal orang tua dua anak yang terakhir itu bukan yang hidup dengan penghasilan dibawah USD 2 per hari, atau dibawah upah minimum. Jadi, entah ada yang error dengan kriteria kemiskinan yang dipakai oleh si 'keluarga besar' ini, atau memang niatnya bukan bantu orang miskin.

Seorang teman menanggapi dengan jelas: “cek saja, pasti mereka anak para pengurus!”

Jadi, para pemilih, hendaklah kalian tahu bahwa kami menyediakan beasiswa sebagai bentuk kepedulian pada orang miskin. Tapi beasiswanya kami berikan untuk diri sendiri! [duit duit gue! masalah buat loe??]

Sunday, March 18, 2012

Kecerdasan Politik Orang Mabuk di Teng Mete

Ini cerita tadi malam. Ada orang yang meninggal dunia. Seperti tradisi di Kupang, mengikuti kebiasaan orang-orang tua dan Kristen, jenazah disemayamkan paling sedikit 3 malam. Ini baru malam kedua. Banyak orang yang datang melayat sekaligus mete atau begadang semalaman menemani keluarga duka. Memang ada perkembangan juga di Kupang. Kalau dulu mete orang meninggal dilakukan dalam syahdu, lagu - lagu didengungkan oleh para pelayat paling banter diiringi gitar akustik, sekarang ini mesti ada keyboard elektrik. Lalu pelayat yang merasa bersuara layak akan menyumbangkan lagu - lagu penghiburan. Perpindahan dari gitar ke keyboard membuat suasana teng mete (tenda duka) jauh lebih meriah.

Teng mete itu tempat orang ngumpul secara sukarela dan menunjukkan solidaritasnya. Entah sekedar menemani keluarga berduka, atau turut membantu angkat - angkat teh dan kopi, atau ditambah dengan sumbangan material. Semuanya dengan sukarela, dan untuk orang Kupang, dianggap 'sudah seharusnya demikian'.

Teng mete sekarang (atau sejak dulu?) juga dikenal sebagai 'arena judi dan mabuk'. Bola guling atau sekedar kartu remi biasanya selalu hadir, ditemani alkohol lokal sampai yang interlokal.

Rupanya kondisi ini cukup empuk untuk dipolitisasi. Lihat saja di teng duka semalam. Tiga dari enam kandidat walikota Kupang yang baru saja ditetapkan KPU, datang melayat. Masing - masing dengan istri/suaminya. Mereka ini orang 'besar'. Ada yang masih menjabat Walikota, ada yang anggota DPR RI, dan anggota DPD RI. Tapi mereka bukan sekedar datang melayat, melainkan turut duduk bermete. Mereka tahu betul bahwa mete, menunjukkan solidaritas terhadap keluarga yang sedang berduka.

Syahdan seseorang mabuk tadi malam, ketika dua kandidat walikota telah pulang. Dalam mabuknya, dia memuji si A, kandidat yang masih tinggal. Sampai di langit. Banyak sekali aspek pujian, mulai dari pengusaha sukses sampai politisi kawakan. Dengan gaya flamboyan, dia minta si A untuk menyumbangkan sebuah lagu. Yah, dengan ancaman: kalo bapa menolak, ketong sonde pilih! Ancaman tokcer, karena si A lantas menyanyikan sebuah lagu penghiburan.

Membayangkan, kira-kira bagaimana perasaan si A? Berbunga - bunga? Bisa jadi. Dipuji dihadapan para calon pemilih... walaupun oleh orang mabuk. Dan si mabuk, bisa memanfaatkan momen kekandidatan si A untuk menodong demi sebuah lagu penghiburan.

Membayangkan ini terjadi bukan di teng duka, tapi di hadapan calon pemilih yang lebih banyak, atau yang lebih solid. Harusnya seorang kandidat bisa ditodong setempat. Katakanlah, ketika kampanye atau sosialisasi. Warga bisa menodong. Ok, kami akan pilih, kalo anda perbaiki dulu jalan lubang itu. Ya, gunakan saja gaya mabuk. Jadi ada pesekot yang berdasarkan tawaran warga.

Atau warga bikin pengumuman sebelum masa kampanye: "Kami, warga Kelurahan ABC akan memilih kandidat yang membangun sumur bor di lokasi yang sudah kami tentukan, sebelum pemilihan dilakukan". Misalnya.

Dengan begitu, harga suara warga bisa jadi agak mahal. Kan selama ini paling satu suara dihargai Rp 50.000 atau kalau sudah putaran kedua naik dikitlah. Itu karena warga dibayar satu per satu, atau individual. Kalau warga memanfaatkan kedekatan sosialnya dan saling bersolidaritas untuk kepentingan bersama, maka kandidatpun bisa ditodong untuk tidak membayar satu persatu, tetapi membayar kepentingan bersama warga. Bukan rokok untuk hari ini yang bisa dibeli, tetapi sumur atau jalan untuk kepentingan jangka panjang.

Soal apakah nanti warga akan benar - benar memilih, siapa yang tahu. Seperti biasa. Seperti juga janji - janji kampanye para kandidat.

Seperti juga orang mabuk semalam. Setelah si A melantunkan lagu penghiburan, dia bertepuk tangan paling keras dan memuji setinggi langit. Ketika si A meninggalkan teng mete, dia pun, masih dengan microphone di tangannya: dia sangka ketong bodok mangkali. su tau orang son suka dia, masih datang cari muka ju!!

Ya, kadang dari orang mabuk kita bisa banyak belajar :)

Thursday, March 8, 2012

Mesri & Markus: sumber air su (mau) dekat

Masih ingat iklan 'sekarang sumber air su dekat'? Usaha mendekatkan sumber air oleh pemasang iklan itu juga dilakukan di Rote, tepatnya di kampung dimana Mesri bertugas sebagai pendeta. Ada kerjasama dengan satu badan PBB.

Dengan semangat pemberdayaan, masyarakat turut serta mengerjakan proyek tersebut. Mereka membangun bak penampung dan memasang pipa. Bahkan ada yang tidak berkebun satu musim tanam. “Yang penting tahun – tahun depan ketong sonde susah lai pikul air”, begitu hitungannya.

Bukan hanya itu, 3 diantara mereka dilatih untuk maintainance. Kemudian masyarakatpun membentuk Forum Pengelola Air. 3 orang terlatih ditugaskan untuk pemeliharaan dan menagih iuran. Hitungannya gampang, per KK menyetor Rp. 2.000,- sebagai abodemen dan Rp. 2.000,- lagi untuk tiap kubik air yang digunakan. Dengan penataan begitu, merekapun menolak keinginan PDAM untuk mengelola air tersebut. Mengapa harus serahkan ke PDAM, kalau bisa diurus masyarakat sendiri, begitu pikir mereka. Mandiri, mantap.

Apa boleh dikata, sebagian besar masyarakat tidak pernah merasakan nikmatnya sumber air su dekat itu. Dari pipa yang dipasang, hanya satu cabang yang mengalirkan air. Dua lagi tidak. Sudah dua tahun. 3 orang pengelola mulai jengah mendengar omelan. Tugas memeriksa kondisi pipa dan menagih iuran tidak dirasa berat, walau hanya dibayar Rp. 50.000,- per bulan. Tapi, mendengar omelan mereka yang tak merasakan layanan itu yang berat. Masalahnya, pengetahuan yang mereka dapatkan dari pelatihan, tidak mencakup kondisi sekarang. Tidak ada sambungan pipa yang longgar, atau bocor. Mau diomeli seperti apapun, ya mereka tidak tahu harus buat apa. Mau minta tolong PDAM, tak enak hati. Dulu pernah ditolak, pasti sekarang PDAM akan menolak, demikian asumsi yang berkembang. Mau protes, kemana? Logo para pemasang itu hanya tinggal dilihat di TV, dalam iklan layanan masyarakat.

Sebagai pendeta jemaat setempat, Mesri turut kerja keras dalam pemasangan pipa. Dia beruntung, gereja ada di jalur yang dengan air mengalir, artinya rumah pastoral tempat dia tinggalpun aman, sumber air betul – betul dekat. Maka semuanya jadi lancar ketika mereka membangun gerejanya menjadi permanen. Lagi – lagi bergotong royong.

Ketidakpuasan tentang air tak jua surut. Sebagian orang sudah akan merusak pipa yang masih mengalirkan air, kalau tidak 'diancam' oleh Mesri. “Dong bilang abis bangun gereja mau kasi rusak pipa. Tapi beta bilang, kalo kasi rusak itu pipa, berarti siap ko tiap hari angkat air kasi gereja. Jadi dong sonde kasi rusak.”

Mesri adalah salah satu peserta dalam Visioning Summit untuk para perawat pulau dari Rote-Ndao, Sabu-Raijua dan Lembata. Visioning sebagai bagian dari proses penerimaan anggota Lingkar Belajar Komunitas Bervisi yang difasilitasi Pikul. Di sini Mesri bertemu dengan Markus. Mereka bahkan dipasangkan panitia sebagai sahabat. Dalam rangka itulah mereka bertukar cerita dan pengalaman dengan apresiatif.

Bagaimana Mesri tidak senang dan berbinar. Markus, mantan pastor itu adalah ahlinya air. Dia sudah berkeliling 122 negara, membawa keahliannya mengurus air. Sekarang dia kembali ke kampung halaman di Pulau Lomblen dan mengabdikan keahliannya di sana. Tak sedikit karyanya diakui berguna untuk masyarakat. Tak selalu perlu proyek, lebih penuh kepedulian dan solidaritas.

Negosiasi Mesri dan Markus berlangsung cepat dan terang. Awalnya Mesri mengaku sempat ragu, apakah Markus dengan kapasitasnya akan bersedia membantu mereka di pedalaman Rote sana. Ternyata Markus menyanggupi tanpa ragu. Hitung – hitung waktu, masih bisa. Setelah penutupan kegiatan hari Kamis malam, hari Jumat pagi Markus langsung ikut ke Rote pakai Fery cepat. Langsung ke kampung, melakukan pengecekan instalasi pipa. Kalau bisa langsung diselesaikan bersama 3 orang pengurus, akan lebih baik. Kalau tidak, para pengurus akan diberikan latihan langsung di tempat untuk mengatasi hal kendala seperti itu. Hari Sabtu siang bisa pulang ke Kupang, dan Hari Minggu pagi terbang ke Lomblen.

Kenapa Mesri bisa begitu yakin untuk langsung membawa Markus ke Rote? “Dia punya reputasi. Tapi terlepas dari itu, beta lihat ini satu kesempatan yang sonde boleh dilewatkan. Ketong coba dulu. Daripada hanya ngomel tiap hari air sonde ada”, demikian pikiran Mesri, yang selalu merasa sayang kalau ada kesempatan yang dilewatkan.

Mesri juga tidak khawatir persoalan dana. “Kan ada iuran, kalau memang butuh ganti pipa atau soket, ya ketong ambil dari sana,” katanya tak ragu. Kalau soal biaya Fery, biaya makan minum dan tidur Markus selama di Rote, Mesri tidak perlu berkerut kening memikirkan budget code atau nomenklatur. “Beta deng jemaat siap atasi,” katanya, sederhana.

Sekarang, apa yang Markus membuat langsung mengiakan ajakan Mesri ke Rote begitu saja? “Coba bayangkan senyum diwajah orang – orang itu. Setelah sekian lama menanti akhirnya air keluar di rumah – rumah mereka. Bahagia. Bagaimana kita tidak ikut bahagia?” begitu, alasan Markus. Markus bilang, alasannya itu masuk akal. Karena membantu orang lain membuat dia senang. Dan dia ingin menggunakan kemampuannya untuk menyenangkan dirinya.

Markus yakin bisa membantu. Dia sudah sangat amat sering sekali mendengar masalah seperti di kampung Mesri. Dugaannya, rancangan pemasangan tidak dilakukan di lokasi, sehingga elevasi tidak presisi. Tapi selalu ada jalan keluar, hanya selama masyarakat tidak tahu harus mencari tahu kemana.

Begitulah, Mesri dan Markus bersepakat dengan semangat. Tanpa program, tanpa budget, tanpa iklan. Kalau mereka berhasil, maka sumber air akan benar – benar dekat. Kalau gagal kali ini, mereka akan mencoba lagi. Mereka, yang membuka mata untuk banyak peluang, percaya diri, tak ingin tergantung dan senang melihat orang lain bahagia.

Sunday, January 15, 2012

s.i.a.l

Coba cek, kejadian - kejadian ini. Hanya pagi ini saja:

07.05 Siap berangkat. Nanti antar ike pi sekolah, trus mau langsung kantor. Pas kasi mundur oto sedikit, kok rasa sonde enak di ban kiri belakang. Begitu diliat, rata velk! Paksa diri ko kasi maju lai, supaya ada ruang untuk motor keluar (cuma 2 meter kok!)

07.10 Marlen su kasi panas motor, trus bawa keluar. Karena jarum petunjuk bahan bakar tu su ngadat, jadi cek tengki do sebelum cabut (trauma dengan bensin abis di tenga jalan). Dan betul! Tinggal beberapa tetes sa. Ini sampe bundaran PU ju sonde bisa lai ni ma...

Masalahnya, dompet kemaren sore ketinggalan di Mak di Walkot. Dan suami lagi ke Jakarta, jadi sonde ada bala bantuan. Marlen ju kosong. Halaaah!! Kais - kais uang receh untuk parkiran di oto, dapat 5.000! Bae su.

07.15. Menuju SAKB. Brenti isi bensin di kios terdekat. Satu botol sa. Sampe pas anak - anak mulai baris upacara. Untunglah.

Keluar dari gang SAKB, pas sampe jalan besar, Ike pung helm terlepas dari gantungan. Menggelinding dengan sukses di tengah jalan raya Frans Seda. Kendaraan super rame, dan karena satu arah, pada super ngebut. Beta su berusaha minta sela sedikit untuk pi pungut itu helm orange, sonde ju. Tetap sonde ada yang mau kasi pelan sedikit dia pung kendaraan untuk ini ibu hamil ada gotong tas ransel isi laptop mau ame dia pung anak pung helm kecil. Parah.

Tapi selalu ada orang baik. Satu pak berbaju PNS yang pas lewat, kasi brenti motor pas di samping helm dan serahkan kembali, dengan senyum. Terima kasih banyak, Pak!

08.00 Singgah di Walkot untuk ambil dompet. Karena tas di walkot ada isi Alkitab 2 biji, maka tas beta kasi tinggal. Dompet sa yang ambil.

08.15 Setelah siap laptop, dll, siap kerja deh. Nah, sekarang, mana kacamata? Huh, lupa lai di rumah. Minta tolong Joni pi ame kacamata di Oebufu, trus telpon Marlen untuk cari itu kacamata.

08.20 Ada telp dari Marlen. Kacamata sonde ada di rumah.. Lho?? Oh iya, kan kemaren bawa ke Gereja, jadi ada di tas Alkitab.... yang ada di rumah Mak di Walkot. Halah.. kasian Joni, dia su jauh-jauh sampe Oebufu. Masalahnya sekarang, Mak su pi sekolah, dan rumah kosong... dan dikunci. Ck ck ck...

Pasrah, paksa kerja dulu tanpa kacamata.

10.30 Mata su sangat sonde nyaman, telp Mak dan tanya jam berapa pulang. Untungnya su mau pulang, lagi tunggu ojek. Pas Ari datang, minta tolong Ari pi jemput Mak di sekolah, skalian ambil kacamata di rumah.

10.41 Ini sekarang. Su pake kacamata dan bikin kronologi sial hari ini.

So, that's enough. Harusnya semua bisa dibereskan sekarang.

Thursday, January 5, 2012

Solidaritas Warga Biasa

Jam 9 malam, HP Frits berbunyi. Dari Adik. Tanya apakah Frits pung darah golongan O. Iya, betul. Midas pung anak, umur 10 bulan, kena DB. Sekarang butuh transfusi darah, golongan O. Wah, Frits su mete 2 hari, mungkin sonde bisa. Tapi Frits coba telepon Yan, yang mengorganisir orang - orang yang siap mendonor darahnya, lengkap dengan data golongan darah. Yan siap cari orang - orang.

Ketong cabut juga ke PMI. Siapa tau, Frits agak superman, biar abis mete ju bisa donor. Dari sana beta telpon Joni di kantor. Dia golongan O, dalam sekejap dia su tiba di PMI, siap mendonor. Frits sonde bisa, tekanan darahnya rendah.. seperti di duga.

Tapi kondisi malam itu betul - betul kasi kenyataan manis. Banyak sekali orang. Si A yang secara mandiri hubungi lai dia pung kawan yang golongan O, trus dari kawan lain hubungi kawan lagi, dan seterusnya. Mungkin kalo ada maniak riset malam itu bisa bikin riset social network -- yang sangat efektif, karena dalam kurang dari 30 menit su ada lebih dari 20 orang berkumpul. Siap donorkan darahnya.

Ada anak - anak muda potongan mahasiswa yang nampaknya langsung cabut dari tempat dong menikmati malam, pake motor tanpa helm. Ada anak muda potongan menakutkan dengan lebih dari 5 tindikan anting di telinga, hidung, bibir. Ada suami istri diatas 40 tahun yang terus bercanda menghidupkan suasana. Sonde semuanya saling kenal, tapi terikat dengan tujuan: berbuat baik dan menyelamatkan seorang bayi 10 bulan. Yang pasti, diantara yang hadir pun ada yang sonde kenal siapa bayi itu dan orangtuanya.

Akhirnya, hanya 4 kantong darah yang dibutuhkan dan su terpenuhi. Yang lain, kasi dong pung nomor HP, kalau - kalau besok akan dibutuhkan lagi. Siap dipanggil jam berapapun. Tanpa wartawan, tanpa bayaran.

Beta pikir tentang solidaritas model ini. Solidaritas antar warga biasa. Memang kalo di negara yang tingkat salah urusnya su demikian kompleks dan sistemik, dan su mau jadi negara gagal, solidaritas antar warga biasa ini yang harusnya jadi fokus perjuangan. Kegagahberanian memperbaiki negara, baik sistem, kebijakan, praktik, harusnya hanya suplemental. Karena sonde bisa lagi ada tawaran komprehensif dari urusan perbaiki sistem di ini negara, paling tambal sulam sa. Mesti ada model baru, dan beta yakin, basisnya adalah solidaritas antar warga, yang masih ada dan sonde pikir pencitraan dan sonde koruptif.

Beta hakul yakin bahwa solidaritas model ini sonde akan terbilas oleh modernisasi ataupun politik - politik pilkada. Walaupun nanti ketong akan dengar cerita tentang kaka adik bakalai karena beda pilihan cawalkot, tapi sonde akan -- atau sangat sedikit kasusnya -- bisa melibas ini solidaritas. Cuma kan sayang sa, kalo ketong bakalai karena pertarungan kepentingan kekuasaan di tingkat elit. Padahal, mungkin sa, pada suatu malam, itu orang yang ketong bakalai ame tu yang datang dan menyumbang darah waktu ketong pung anak butuh. Sayang kan...

Sepotong Partai Politik

Ada waktu kami merumpi tentang orang lain. Tentu saja.... Di siang berhujan itu, kami merumpi seorang politikus di kota kami. Mulanya tentang partai - partai politik dst bla bla bla. Kemudian seorang teman berpredikat caleg gagal bikin pernyataan: 'tidak ada yang bisa dipecaya di dunia politik'. Sama sekali bukan pernyataan yang segar, karena toh semua orang juga pernah mendengar tentang 'tidak ada kawan sejati dalam politik'. Tapi referensi teman ini adalah seorang politikus di kota kami, yang kemudian jadi bahan rumpian kami itu. Si Politikus, sebut saja namanya P', adalah anggota DPRD, bahkan Ketua DPRD dan juga Ketua DPC satu partai besar. Dalam waktu kurang dari dari satu tahun, seluruh jabatan itu dicuci bersih dari dia. Habis. Semuanya penuh kontoversi, perdebatan, bahkan nyaris adu jotos. Tapi apapun, toh dicuci juga.

Jadi si caleg gagal bilang: 'Posisi itu: Anggota DPRD, apalagi Ketua, plus Ketua Partai, adalah posisi yang dicita - citakan semua orang yang masuk ke partai politik! Nah, kalau dalam waktu kurang dari 1 tahun, semua itu bisa diambil dari seseorang, kira - kira apalagi yang bisa dipercaya dari partai politik, coba?? Makanya saya tidak ingin terlibat (lagi) dengan parpol, tidak ada yang bisa dipercaya!'

Dasar pikiran saya tukang melayang, tidak selalu di koridor yang sama dengan pembicaraan yang ada. Saya kemudian menyadari, mengapa saya tidak ingin -- dan beberapa kali menolak tawaran -- bergabung dengan parpol. Karena cita - cita saya bukan anggota DPRD atau ketua partai, tapi pendidikan politik untuk warga. Dan, parpol -- dengan sepotong gambaran itu, sama sekali bukan tempatnya!