Thursday, March 8, 2012

Mesri & Markus: sumber air su (mau) dekat

Masih ingat iklan 'sekarang sumber air su dekat'? Usaha mendekatkan sumber air oleh pemasang iklan itu juga dilakukan di Rote, tepatnya di kampung dimana Mesri bertugas sebagai pendeta. Ada kerjasama dengan satu badan PBB.

Dengan semangat pemberdayaan, masyarakat turut serta mengerjakan proyek tersebut. Mereka membangun bak penampung dan memasang pipa. Bahkan ada yang tidak berkebun satu musim tanam. “Yang penting tahun – tahun depan ketong sonde susah lai pikul air”, begitu hitungannya.

Bukan hanya itu, 3 diantara mereka dilatih untuk maintainance. Kemudian masyarakatpun membentuk Forum Pengelola Air. 3 orang terlatih ditugaskan untuk pemeliharaan dan menagih iuran. Hitungannya gampang, per KK menyetor Rp. 2.000,- sebagai abodemen dan Rp. 2.000,- lagi untuk tiap kubik air yang digunakan. Dengan penataan begitu, merekapun menolak keinginan PDAM untuk mengelola air tersebut. Mengapa harus serahkan ke PDAM, kalau bisa diurus masyarakat sendiri, begitu pikir mereka. Mandiri, mantap.

Apa boleh dikata, sebagian besar masyarakat tidak pernah merasakan nikmatnya sumber air su dekat itu. Dari pipa yang dipasang, hanya satu cabang yang mengalirkan air. Dua lagi tidak. Sudah dua tahun. 3 orang pengelola mulai jengah mendengar omelan. Tugas memeriksa kondisi pipa dan menagih iuran tidak dirasa berat, walau hanya dibayar Rp. 50.000,- per bulan. Tapi, mendengar omelan mereka yang tak merasakan layanan itu yang berat. Masalahnya, pengetahuan yang mereka dapatkan dari pelatihan, tidak mencakup kondisi sekarang. Tidak ada sambungan pipa yang longgar, atau bocor. Mau diomeli seperti apapun, ya mereka tidak tahu harus buat apa. Mau minta tolong PDAM, tak enak hati. Dulu pernah ditolak, pasti sekarang PDAM akan menolak, demikian asumsi yang berkembang. Mau protes, kemana? Logo para pemasang itu hanya tinggal dilihat di TV, dalam iklan layanan masyarakat.

Sebagai pendeta jemaat setempat, Mesri turut kerja keras dalam pemasangan pipa. Dia beruntung, gereja ada di jalur yang dengan air mengalir, artinya rumah pastoral tempat dia tinggalpun aman, sumber air betul – betul dekat. Maka semuanya jadi lancar ketika mereka membangun gerejanya menjadi permanen. Lagi – lagi bergotong royong.

Ketidakpuasan tentang air tak jua surut. Sebagian orang sudah akan merusak pipa yang masih mengalirkan air, kalau tidak 'diancam' oleh Mesri. “Dong bilang abis bangun gereja mau kasi rusak pipa. Tapi beta bilang, kalo kasi rusak itu pipa, berarti siap ko tiap hari angkat air kasi gereja. Jadi dong sonde kasi rusak.”

Mesri adalah salah satu peserta dalam Visioning Summit untuk para perawat pulau dari Rote-Ndao, Sabu-Raijua dan Lembata. Visioning sebagai bagian dari proses penerimaan anggota Lingkar Belajar Komunitas Bervisi yang difasilitasi Pikul. Di sini Mesri bertemu dengan Markus. Mereka bahkan dipasangkan panitia sebagai sahabat. Dalam rangka itulah mereka bertukar cerita dan pengalaman dengan apresiatif.

Bagaimana Mesri tidak senang dan berbinar. Markus, mantan pastor itu adalah ahlinya air. Dia sudah berkeliling 122 negara, membawa keahliannya mengurus air. Sekarang dia kembali ke kampung halaman di Pulau Lomblen dan mengabdikan keahliannya di sana. Tak sedikit karyanya diakui berguna untuk masyarakat. Tak selalu perlu proyek, lebih penuh kepedulian dan solidaritas.

Negosiasi Mesri dan Markus berlangsung cepat dan terang. Awalnya Mesri mengaku sempat ragu, apakah Markus dengan kapasitasnya akan bersedia membantu mereka di pedalaman Rote sana. Ternyata Markus menyanggupi tanpa ragu. Hitung – hitung waktu, masih bisa. Setelah penutupan kegiatan hari Kamis malam, hari Jumat pagi Markus langsung ikut ke Rote pakai Fery cepat. Langsung ke kampung, melakukan pengecekan instalasi pipa. Kalau bisa langsung diselesaikan bersama 3 orang pengurus, akan lebih baik. Kalau tidak, para pengurus akan diberikan latihan langsung di tempat untuk mengatasi hal kendala seperti itu. Hari Sabtu siang bisa pulang ke Kupang, dan Hari Minggu pagi terbang ke Lomblen.

Kenapa Mesri bisa begitu yakin untuk langsung membawa Markus ke Rote? “Dia punya reputasi. Tapi terlepas dari itu, beta lihat ini satu kesempatan yang sonde boleh dilewatkan. Ketong coba dulu. Daripada hanya ngomel tiap hari air sonde ada”, demikian pikiran Mesri, yang selalu merasa sayang kalau ada kesempatan yang dilewatkan.

Mesri juga tidak khawatir persoalan dana. “Kan ada iuran, kalau memang butuh ganti pipa atau soket, ya ketong ambil dari sana,” katanya tak ragu. Kalau soal biaya Fery, biaya makan minum dan tidur Markus selama di Rote, Mesri tidak perlu berkerut kening memikirkan budget code atau nomenklatur. “Beta deng jemaat siap atasi,” katanya, sederhana.

Sekarang, apa yang Markus membuat langsung mengiakan ajakan Mesri ke Rote begitu saja? “Coba bayangkan senyum diwajah orang – orang itu. Setelah sekian lama menanti akhirnya air keluar di rumah – rumah mereka. Bahagia. Bagaimana kita tidak ikut bahagia?” begitu, alasan Markus. Markus bilang, alasannya itu masuk akal. Karena membantu orang lain membuat dia senang. Dan dia ingin menggunakan kemampuannya untuk menyenangkan dirinya.

Markus yakin bisa membantu. Dia sudah sangat amat sering sekali mendengar masalah seperti di kampung Mesri. Dugaannya, rancangan pemasangan tidak dilakukan di lokasi, sehingga elevasi tidak presisi. Tapi selalu ada jalan keluar, hanya selama masyarakat tidak tahu harus mencari tahu kemana.

Begitulah, Mesri dan Markus bersepakat dengan semangat. Tanpa program, tanpa budget, tanpa iklan. Kalau mereka berhasil, maka sumber air akan benar – benar dekat. Kalau gagal kali ini, mereka akan mencoba lagi. Mereka, yang membuka mata untuk banyak peluang, percaya diri, tak ingin tergantung dan senang melihat orang lain bahagia.

No comments:

Post a Comment