Saturday, June 25, 2011

Kakak Perempuan dari Anak Laki-Laki Sulung

Di tahun 2003, Marlen berhasil lulus dari SMP Negeri 2 Seba, Sabu. Senang, tentu saja. Perjuangan tiga tahun harus berjalan kaki atau bersepeda 14 kilometer bolak-balik dari rumahnya di Menia, Sabu Tengah, ke Seba, Sabu Barat untuk bersekolah tidak meredakan niatnya untuk melanjutkan ke SMA. Di kampungnya, Menia, yang subur dan berlimpah air, masih belum ada sekolah kecuali SD. Sayang, orangtuanya berpendapat lain.

Ayahnya seorang petani, begitu juga ibunya. Selain sawah lebih dari satu hektar, mereka juga punya lading-ladang jagung dan puluhan ekor kambing. Bila musim tanam tiba, Marlen harus membantu ayahnya mencangkul di sawah. Ini pekerjaan biasa baginya, juga bagi perempuan seumurannya di Menia.

Marlen anak pertama dari 4 bersaudara. Adiknya, dua laki-laki dan yang bungsu perempuan. Perbedaan umur antara Marlen dan adiknya yang nomor dua, Yes namanya, hanya setahun.

Tapi sebagai anak laki-laki sulung, Yes adalah kesayangan orangtuanya. Yes tidak pernah bekerja di sawah. Kalau musim tanam atau panen tiba, Yes akan menghilang dari rumah. Bila pekerjaan mempersiapkan lahan, menyemai dan menanam atau pekerjaan panen sudah selesai, baru Yes pulang. Tapi dari kejauhan saat menampakkan diri, dia sudah memohon ampun pada ayahnya, bahkan mencium kakinya begitu sampai di hadapan sang ayah, supaya tidak dimarahi. Dan selalu berhasil, tahun demi tahun. Bahkan uang dari penjualan hasil panen akan dipakai ayahnya untuk memenuhi keinginan Yes. Entah sekedar membeli pakaian, atau bahkan sepeda motor.

Marlen adalah tumpuan. Selain mencangkul, karena dia tidak mahir menanam padi yang butuh kerapian dan ketelatenan, tugas Marlen adalah mengurus kambing. Memetik daun-daun untuk makan kambing, melepas ternak ini di pagi hari dan mengumpulkan mereka kembali di sore hari untuk diikat di dekat rumah.

Saat Marlen lulus SMP, ibunya sakit. Dengan alasan tidak ada lagi yang bisa membantu di sawah dan urus kambing, Marlen diminta berhenti sekolah dulu. Hanya satu tahun, begitu kata ayahnya. Setelah itu dia boleh bersekolah. Tetapi Marlen tahu, ayahnya tidak serius ingin menyekolahkan dia. “Beta tahu kak, dong hanya mau Yes yang sekolah tinggi. Dong biasa bilang begitu,” cerita Marlen dalam dialek Kupangnya.

Marlen marah besar, tapi orangtuanya tidak menggubris.

Memang hanya sedikit teman-teman perempuan Marlen yang melanjutkan sekolah setelah SMP. Bahkan banyak yang tidak sekolah sampai SMP juga. Sebagian mereka memilih untuk keluar dari Sabu, mencari pekerjaan. Ke Kupang di Timor, ke Maumere di Flores, atau ke Waingapu di Sumba. Bahkan juga ke Jakarta atau Surabaya. Kalau bukan jaga toko, menjadi pembantu rumah tangga. Ada juga yang tetap tinggal, baik sekolah maupun tidak.

Tapi dong tu sonde akan selamat,” kata Malen sambil tertawa lucu. Maksudnya, mereka yang tinggal pasti akan segera dikawinkan. Bahkan ada temannya yang sudah dikawinkan di umur 13 atau 14 tahun, ketika masih duduk di bangku SMP. Marlen ingin menghindari itu.

Wajah Marlen menunjukkan karakternya yang keras. Rahangnya berbentuk persegi agak melebar. Tubuhnya pun persegi dan berisi, dengan telapak tangan kasar, khas pekerja keras. Maka saya tidak heran kala mendengar kalau dia akhirnya berkemas dan pergi dari rumahnya. Hanya berbekal pakaian seadanya, dia naik ferry menuju kota Maumere di Pulau Flores. Usianya 15 tahun waktu itu.

Marlen langsung ke rumah tantenya begitu tiba di Maumere. Tantenya punya usaha kue. Kerja Marlen adalah membuat kue, sepanjang hari. Bukan jenis pekerjaan yang disukai Marlen yang tomboy. Hanya satu minggu, Marlen sakit. Capek, katanya. Lagipula kuenya sering rusak. Maka Marlen mulai berkeliling kota Maumere untuk mencari pekerjaan lain. Dia mendapat kerja di Toko Sumber Mas, toko pakaian.

Di situ sonde sama ke di toko barang lain. Karena pembeli ambil sendiri, jadi ketong hanya tinggal catat dan kasi ke kasir,” cerita Marlen, menjelaskan mengapa dia betah bekerja di Toko Sumber Mas selama empat tahun.

Gajinya 150 ribu rupiah. Pagi jam 7.00, mereka mulai membersihkan toko, rumah dan pekarangan pemilik toko. Jam 8.00 toko dibuka. Jam 13.00, istirahat makan. Sambil istirahat, mereka mencuci dan menyeterika pakaian pemilik toko sekeluarga. Jam 14.00 toko dibuka kembali. Setelah tutup toko, mencuci piring dan membersihkan rumah pemilik toko, mereka bisa pulang. “Sonde talalu capek,” kata Marlen.

Tahun 2007, Marlen memutuskan untuk beristirahat sejenak dari pekerjaannya dan pulang kampung. Hanya satu bulan.

Marlen lihat, kelakuan Yes makin menjadi. Dia tidak lulus SMP, putus di kelas 2. Tidak juga bekerja. Hanya nongkrong di rumah teman, di pinggir jalan dan mabuk-mabukan. Tapi bukannya dihukum, malah orangtuanya mempersiapkan masa depan Yes.

Ayahnya membuatkan rumah beton untuk Yes, juga mulai menabung. Marlen tahu, ayahnya punya rekening di Bank NTT Seba sebesar Rp. 5 juta atas nama Yes waktu itu. Semua sertifikat tanah dan BPKB motor Honda Supra yang baru dibeli juga atas nama Yes.

Marlen pun kembali ke Maumere. Tapi dia tidak lagi bisa bekerja di luar rumah. Om dan tantenya melarang.

Liburan satu bulannya berbuntut panjang. Dia sempat bertemu dengan seorang laki-laki yang menarik hatinya. Rumah mereka berdekatan. Mereka berpacaran, dan Marlen pun hamil. Dia tidak menyadarinya, sampai usia kandungan 2 bulan 10 hari waktu pertama kali periksa di dokter. Beberapa kawan menyarankan aborsi. Marlen menolak. Takut gagal dan malah melahirkan anak cacat.

Marlen hanya bisa menangisi nasibnya. Matanya yang kecil masih berkaca-kaca mengingat masa itu. Dia takut pada orangtua di kampung yang tidak tahu apa-apa. Dia juga sadar, si lelakipun tidak tahu kondisinya. Dia tidak bisa kerja mencari uang sendiri. Dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada dia dan anaknya nanti.

Tanpa sepengetahuan Marlen, tantenya menghubungi Mama Marlen. Ayahnya bingung, tapi tidak marah. Mamanya memutuskan untuk menjemput Marlen untuk pulang ke Sabu. Di usia kandungan 6 bulan, Marlen dan Mamanya naik ferry ke Sabu.

Tidak banyak perbedaan aktivitas Marlen pada saat hamil dan tidak hamil. Dia tetap mencangkul di sawah. Tetap menarik air dari sumur. Bahkan, satu hari sebelum melahirkan, dia masih harus turun ke jurang sedalam 20 meter untuk mengambil seekor kambing yang terlalu jauh bermain.

Cindy akhirnya lahir. Selamat dan normal. Walau teratur memeriksakan kandungan di bidan, ibunya tidak mengizinkan Marlen melahirkan di bidan. Sama saja dengan di rumah, katanya.

Marlen tidak pernah tahu apa itu kontraksi. Malam itu, dia hanya merasa sakit perut. Jadi dia hanya bisa duduk-duduk di luar rumah berharap sakit perutnya mereda. Sampai pagi. Setelah mandi, ternyata sakit perutnya tidak mereda. Dia pun menyusul mamanya di rumah tua dengan berjalan kaki 3 kilometer “Mama bilang, su ada tanda. Jadi mama langsung panggil tanta satu yang biasa bantu orang melahirkan,” kenang Marlen lagi.

Tiga hari setelah melahirkan, Marlen sudah kembali mencangkul. Juga memanjat pohon untuk memetik daun makanan kambing. Tidak ada yang luar biasa bagi Marlen. Hampir 20 tahun usianya waktu itu.

Dua tahun terakhir Marlen tinggal di Kupang bersama kami. Cindy, anaknya yang sekarang berusia tiga tahun, diasuh orangtuanya di Sabu. “Mau karmana lai, kak. Mama dong sonde akan lepas Cindy. Tapi beta ju sonde suka tinggal di Sabu,” jelas Marlen pasrah.

Mungkin Marlen memang memilih pasrah. Perlakuan orangtuanya kepada Yes masih membuat dia jengkel. Tahun lalu, Yes minta uang membeli motor. Bapaknya menjual tanah, dapat 15 juta rupiah. Yes membeli motor Yamaha Jupiter seharga 12 juta. Tak lama, si Jupiter dijual 10 juta dan membeli Honda Supra X bekas dengan harga 7 juta. lalu, Supra X juga sudah dijual. “Sekarang dia ada pake motor bekas satu lai. Dia beli 4 juta”, cerita Marlen, sambil mencibirkan bibirnya.

Laki-laki, ayah biologis Cindy, tidak pernah dijumpainya lagi sampai saat ini. Marlen dulu pernah dengar bahwa lelaki itu tidak mengakui Cindy sebagai anaknya. Bukan hal besar bagi keluarga Marlen. Mereka bahkan tidak pernah minta keluarga lelaki itu bertanggungjawab, seperti umumnya terjadi.

Saya memang pernah mendengar dari Pendeta Ina Bara Pa, bahwa orang Sabu paling toleran terhadap kejadian hamil diluar nikah. Keluarga perempuan akan mengurus anak yang lahir di luar nikah sebagai anak suku. Mereka senang bila bisa mendapat tambahan keturunan yang menggunakan nama marganya.

Tapi sekarang, ada kabar keluarga si lelaki ingin mengambil Cindy dari tangan orangtuanya. “Ha..ha..ha... sonde mungkin. Coba sa kalo berani,” tawa Marlen dengan yakin.

Umurnya 23 tahun sekarang. Marlen memutuskan untuk menikmati saja hidupnya. Dia belum mau memikirkan masa depan. Selama di Kupang, Marlen sudah 4 kali berpacaran. Tiga pacarnya yang pertama dia putuskan, karena mengajaknya menikah.

Catatan

1. Sabu adalah salah satu pulau kecil di NTT yang terletak paling di selatan dan jauh dari pulau-pulau lainnya.

2. Kata-kata dalam dialek Kupang:

beta : saya

dong : dorang, mereka

sonde : tidak

ketong : kita

su : sudah

karmana lai : bagaimana lagi

No comments:

Post a Comment