Wednesday, April 12, 2017

(camem) Kalau diserang, menyerahlah!

Ini masih tentang kerjaan urus pengungsi di Atambua. Waktu itu, setiap hari distribusi bantuan ber-truck-truck. Kami saat itu selalu dikawal bila distribusi. Situasi sedang panas. Pun karena tiap distribusi selalu penuh risiko. Ada kasus truk yang membawa barang dihadang di jalan, ada yang menjadi konflik karena penerima bantuan tidak puas dengan jumlah maupun jenis bantuan yang diterima.

Biasanya yang mengawal kami dari kepolisian setempat atau dari Brimob. Kami sering menganggap mereka "anak bawang". Yang ditugaskan mengawal kami biasanya masih muda - muda. Anak - anak baru. Tapi bukan karena "muda" maka kami tidak menganggap serius kemampuan mereka menjaga kami. Tapi ada beberapa kasus dimana mereka nampak justru yang lebih takut terhadap serangan daripada kami. Juga, nampaknya cara memegang senjatanya belum mantap. Tidak seperti di pelem-pelem, he he he.

Satu hari, insiden benar - benar terjadi. Tim yang membawa bantuan ke Halilulik disandra. Pasalnya, ada pengungsi yang tidak puas dengan jumlah barang yang diterima. Sialnya mereka yang tidak puas itu bersenjata. Dan para pengawal, membuktikan asumsi - asumsi kami sebelumnya. Tidak berdaya. 2 jam lebih tim kami disandra di bawah todongan senjata. Syukurlah bisa lepas tanpa cedera, walau shock.

Kami berevaluasi masalah ini. Salah satu kesimpulan, berhubung pengawal resmi tidak kompeten, kita perlu memperjuangkan pengawalan dari security UNHCR. Saya ditugaskan untuk menyampaikan aspirasi kami sendiri ini ke UNHCR. Terutama, tentu saja, karena saya bisa berbahasa Inggris.

Besoknya, berangkatlah saya dengan gagah berani ke kantor UNHCR. Saya bertemu dengan tim sekuritinya. Walau mereka sangat ramah dan sudah mencatat insiden yang kami alami, mereka mengaku tidak bisa menjadi pengawal kami. Mereka hanya mengawal kegiatan - kegiatan lembaga UN dan lembaga internasional. Di luar itu (maksudnya yang nasional dan lokal) adalah tanggungjawab pemerintah dan perangkat keamanannya. Jadi yang mereka bisa lakukan hanyalah mencatat insiden yang menimpa semua pihak (termasuk kami). Mungkin untuk kebutuhan laporan saja.

Tim sekuriti mereka ramah-ramah. Malamnya, kami diundang makan malam dan ngopi. Ngobrol ngalor ngidul tentang pengalaman kerja mereka di daerah konflik di seluruh dunia. Salah satu dari mereka, orang Ethiopia, cerita bahwa dia ditodong senjata, disuruh berlutut dan say the last prayer. Tapi untunglah dia berhasil selamat. Saya bertanya: bila demikian tingginya bahaya yang kalian hadapi, mengapa bertahan di pekerjaan ini? Jawabannya kompak dan masuk akal: because the carrot is big! Pun, tambah si kawan dari Ethiopia: "selalu ada kans untuk selamat. Yang harus dilakukan bila diserang atau ditangkap adalah, menyerah! Raise your hands, and you will survive!"

Beberapa waktu setelah itu Kantor UNHCR diserang. 3 orang staff tewas dibunuh. Salah satunya si kawan Ethiopia. Saya baca di koran, bahwa dia memang mengangkat tangan dan menyerah waktu diserang. Tapi tak ayal, dibunuh dan dibakar. No man, not here. Rest In Peace!



No comments:

Post a Comment