Sunday, August 27, 2017

Kesetaraan gender - a sporadic lesson

Kemaren nonton short movie, dengan kategori inspirative. Ceritanya tentang pasangan yang menikah ulang. Jadi mereka bertahun yang lalu sudah menikah, pasangan hetero, laki - laki dan perempuan. Kemudian salah satu berganti kelamin menjadi perempuan, dan mereka menikah kembali. Kali ini sebagai pasangan lesbian.

Saya bukan ingin menggugat pernikahan sejenis. That's a long debate :) Hanya saja kejadian ini membuat saya berpikir lagi tentang kesetaraan gender. Argumentasi utama dari gerakan ini adalah bahwa yang natural, kodrati, God given, adalah hal - hal yang berupa fisik sexual. Untuk laki - laki: punya penis, jakun, dll. Untuk perempuan: punya sel telur, rahim, vagina, yang menyebabkan dia bisa hamil dan melahirkan. Itu yang kodrati. Di luar itu adalah social construction. Human-made. Bisa berubah dan bisa dipertukarkan.

Dalam kasus diatas, si laki - laki yang kemudian mengubah diri menjadi perempuan itu, saya simpulkan, sebagai bukan seorang yang homoseksual. Kenapa? Karena dia sudah menikah dengan seorang perempuan, dan mengaku bahwa: 'walau jenis kelamin saya berubah, cinta saya tidak'. Atau kemungkinan lain, dia berubah orientasi seksual sejak dia mengubah jenis kelaminnya. Ini agak sulit dicerna. Kemungkin berikut, dia biseksual. Tapi kemudian, apa pointnya dia mengubah jenis kelaminnya karena orientasi seksualnya tidak mensyaratkan jenis kelamin dia sendiri.

Jadi penjelasannya ada pada eksistensinya sebagai pribadi. Begitu, pemikiran awam saya. Dia sendiri sudah merasa sebagai 'perempuan yang terjebak dalam tubuh laki - laki'. Tapi, dengan orientasi seksual yang 'apapun jenis kelaminnya, dia tertarik pada perempuan (dan mungkin juga laki - laki kalau dia biseksual), maka pertanyaan saya: "keperempuanan apa yang terjebak dalam tubuh laki - lakinya?" Ketika dia mengubah tubuhnya menjadi perempuan, artinya dia ingin mengubah kodratnya. Tetapi, bukankah kodrat itu tidak penting, ketika dia tidak bertentangan dengan orientasi seksualnya? Kecuali, kalau bertentangan dengan ke'gender'annya, yakni hal yang merupakan konstruksi sosial. Misalnya, dia merasa lebih "lembut" dan tidak cocok dalam tubuh laki - laki. Padahal, kelembutan diasosiasikan dengan perempuan adalah suatu konstruksi sosial. Sehingga, tidak ada masalah, harusnya, kalau laki - laki juga lembut. Kecuali, kalau dia merasa harusnya dia bisa melahirkan. Maka dia perlu menjadi perempuan. Hal mana yang nampaknya teknologi ganti jenis kelamin belum sampai secanggih itu.

Jangan sampai, ada sifat -sifat yang dicap konstruksi sosial, sebenarnya adalah kodrat?


No comments:

Post a Comment