Thursday, August 24, 2017

Para lulusan luar negeri dan Iqbal Aji Daryono dan pembangunan

Cukilan dari Iqbal Aji Daryono yang dimuat di Detik.com <https://news.detik.com/kolom/3609706/tentang-para-alumni-luar-negeri-yang-genit-genit-itu> lumayan menarik. Intinya Iqbal bilang bahwa para alumni luar negeri itu orang - orang bermental minder khas kaum terjajah yang kebetulan mengalami langsung kondisi di negeri penjajah. Yang terkagum - kagum dan setelah pulang ke negeri sendiri hanya bisa kritik, banding - banding dan mengeluh. Mereka ini gagal memahami akar socio-kultural-struktural yang membuat negeri penjajah itu lebih rapih, lebih kaya, lebih taat aturan, beretika, dan semua kebaikan lainnya. Mereka juga gagal memahami akar struktural dari permasalahan yang ada di negeri sendiri, dalam hal ini Indonesia. Akar struktural yang bikin Jakarta terlalu padat untuk ditertibkan, orang miskin tidak bisa tidak pakai trotoar untuk parkir motor (eiittss...saya harus parkir di trotoar atau mati!). Yang lebih nahas, mereka ini hanya sampai di level kagum terhadap negeri penjajah saja, tak ada mampu berbuat sesuatu untuk menciptakan perubahan di negeri sendiri.

Hadeuh, betapa mual membayangkan para alumni luar negeri itu. Apalagi yang dapat beasiswa, yang mana mayoritas para mental inlander, yang berapi - api mengumbar mimpi dalam wawancara dan berakhir di kagum - kagum melecehkan.

Tapi menurut saya, inti dari tulisan ini sebenarnya adalah kritik lama. Seperti frasa yang sering saya dengar dulu waktu baru mulai berkecimpung di dunia pembangunan: like put a band aid to cure a cancer. Alias, sederhananya, masalah berurat akar dan rumit mau dibereskan dengan instan. Seringkali dipakai untuk mengkritik pendekatan karitatif (bagi makanan untuk orang miskin) untuk masalah struktural (orangnya miskin karena tanahnya dirampas penguasa). Kebetulan oh kebetulan, Iqbal lagi dikelilingi kelompok mahasiswa dan/atau alumni luar negeri yang hobi membanding-bandingkan.

Pilihan untuk menyentuh masalah di permukaan saja itu sudah biasa. Ada banyak kritik misalnya, terhadap raskin. Bahkan sejak awal dia keluar sebagai Operasi Pasar Khusus. Raskin aka OPK dituding sebagai 'tidak menyelesaikan persoalan struktural dari minimnya akses orang miskin pada makanan'. Atau bahkan menyumbang ke panti asuhan, karena tidak memberdayakan anak - anaknya.

Pun soal membanding-bandingkan. Menurut saya sih soal membanding-bandingkan itu bukan soal besar, pun bukan eksklusif milik alumni luar negeri. Saya sih sudah lama membanding-bandingkan, jauh sebelum saya akhirnya juga menjadi alumni luar negeri. Lho, bagaimana tidak. Nonton film, baca buku, lihat di majalah, apalagi sudah ada youtube dan berbagai medsos. Tanpa jadi alumni luar negeri pun orang bisa dengan fasih membanding-bandingkan. Bahkan menurut saya sih, minimal kalau para alumni yang membanding-bandingkan, itu sudah didasarkan pada pengalaman empirik :)

Nah, kembali ke urusan band aid for cancer thing, pada akhirnya kita tidak bisa tidak menghargai apapun yang bisa dilakukan. Selama, tentu saja, tidak berdampak negatif secara jangka panjang. Walaupun jadinya minimalis, misalnya, asalkan lakukanlah sesuatu. Karena dilema klasik: memperjuangkan perubahan struktural makan waktu panjang (untuk tidak bilang tidak terkira), sementara ada kebutuhan langsung jangka pendek yang mendesak. Jadi begitu, saling menghargai saja atas apapun yang bisa dilakukan. Soal memperjuangkan trotoar tanpa mengurus akar masalah urbanisasi, pun menurut saya sudah sesuatu usaha yang luar biasa. Patut dihargai.





No comments:

Post a Comment